Tuesday 31 January 2012

Cerita seru Malam Itu Di Kamar Salma

Kisah ini tentang orang-orang yang satu rumah kos denganku. Namanya Saskia (23 tahun) dan Salma (23 tahun). Lebih enjoy kalau kamu simak sendiri dari awal kisah ini. "Malam itu di kamar Salma.."

*****

Ceritanya aku nemuin surat milik Saskia, teman sekamarku waktu aku lagi bersih-bersih kamar. Waktu aku baca, isi surat itu bener-bener bikin aku berkeringat dingin. Surat itu dari Salma, seorang janda muda yang tinggal di rumah induk. Dan isinya, Salma pingin ketemuan sama Saskia dan Salma pingin berhubungan badan dengan Saskia. What? Maksudnya, Saskia lesbian? Gawat! Jadi selama ini aku sekamar dengan lesbi? Tapi kenapa Salma pingin tidur dengan Saskia ya? Apa dia juga lesbi?
"Aku nggak tahan lagi, Sas. Sudah lama hatiku kering, dan aku merindukan pelukan yang hangat dan mesra. Tapi, aku nggak mau ambil resiko. Jadi aku rasa aku mau menuruti tawaranmu. Malam ini rumah induk sepi. Aku tunggu kau di kamarku jam tujuh." Begitu penggalan surat Salma.

Jam tujuh kurang seperempat. Aku sudah siap di kamar Bella, sebelah kamarnya Salma. Beruntung, karena dua hari lalu ketika Bella hendak pulang dia menitipkan kunci kamarnya ke aku. Segera aku cari tempat yang strategis buat ngintip suasana kamar Salma. Pas! Ada lobang angin-angin yang menghubungkan kamar Bella dan kamar Salma. Dan dengan mudah dan jelas aku bisa mengintip ke kamar Salma.

Salma sedang duduk menyisir rambutnya di depan meja rias. Wajah ayunya dihiasi dengan senyum. Matanya yang sayu berkali-kali memandangi jam dinding. Benar juga, nampaknya Salma menanti seseorang. Jam tujuh kurang lima menit. Tok.. tok.. tok..
"Salma.. ini aku, Saskia."
Salma membukakan pintu kamarnya. Nampak Saskia tersenyum manis sambil menyapa,
"Hai!". Busyet! Kayak ngapel ke rumah pacar saja, batinku.

Saskia segera masuk dengan mengunci pintu kamar. Dipandanginya wajah Salma sesaat. Dibelainya wajah halus Salma yang tanpa cacat. Tapi nampaknya Salma sudah tak tahan lagi. Segera diburunya bibir Saskia. Kedua bibir yang sama-sama mengenakan lipstik itu saling melumat dan menghisap. Bisa kubayangkan lidah-lidah mereka yang bertarung mengganas. Tangan-tangan mereka saling meremas dan memeluk kepala pasangannya. Salma menghisap kuat-kuat bibir Saskia, dan Saskiapun membalasnya dengan menggigit bibir atas Salma.

Saskia segera melepaskan daster yang dikenakan Salma, dan kemudian kembali mereka bercumbu. Daster itu meluncur turun meninggalkan tubuh Salma yang kini tinggal berlapis BH dan CD tipis. Begitupun yang dilakukan Salma. Dilepasnya tali kimono Saskia hingga nampak tubuh Saskia yang berbalut lingerin hitam.

"Wah, bagus banget!" seru Salma ketika melihat lingerin yang dikenakan Saskia. Bagus apaan! Menurutku lingerin itu menjijikkan. Warnanya hitam lagi transparan, dan cuman menutup payudara Saskia sampai diujung saja. Hingga kedua gumpalan payudara berukuran 36 itu bagai ingin melompat keluar. Pakai lingerin atau bugil, kayaknya sama saja.

"Aku ingin hanya diriku yang kau puji sayang.. bukan lingerin ini." kata Saskia merajuk.
"Iya deh.." kata Salma kembali memburu bibir seksi Saskia.
Bibir mereka kembali bergumul. Tangan Saskia menyusup masuk ke balik CD Salma. Perlahan-lahan diremasnya kedua pantat kenyal Salma.
"Aah.." desis Salma keenakan.
Saskia semakin ganas meraba-raba Salma hingga kemudian melepaskan pengait BH Salma. Penutup dada Salma itu mengendor lalu terjatuh. Ciuman Saskia turun ke leher dan dada Salma. Tak disia-siakannya setiap inchi dada Salma yang mungil. Dicumbuinya penuh nafsu hingga ke perut lalu berhenti sebentar di pusarnya dan kemudian naik lagi hingga kembali ke bibir Salma. Diperlakukan seperti itu Salma mendesis-desis penuh birahi,
"Sass.. ashh..ehmm..".

Saskia mendorong Salma terlentang di atas kasur dan menindihnya. Ciuman Saskia kembali menurun hingga ke dada Salma. Diciuminya kedua bongkahan gunung kembar Salma yang sudah menegang. Putingnya berwarna kecoklatan menantang. Tanpa malu ladi dimasukkannya salah satu puting itu ke dalam mulutnya.

"Uagghh.. Sas.. ahh.. terus.. say.." gumam Salma meremas rambut Saskia yang cepak.
Saskia meremas-remas buah dada yang baru saja dikulumnya itu. Dan sekali-kali diplintirnya putingnya hingga membuat Salma bergelinjangan. Dan kemudian dihisapnya kuat-kuat. Sedang telapak tangan kirinya menekan kemaluan Salma yang masih dilapisi oleh CD.
"Saskiaa.." teriak Salma menghentak-hentak keasyikan.

"Hmm.. ehm.." gumam Saskia keenakan. Tak dipedulikannya erangan Salma. Kedua bukit kembar Salma digarapnya bergantian. Dikenyot-kenyotnya payudara Salma yang sudah bengkak benar bagai bayi yang amat kehausan. Salma yang sudah lama tak merasakan kenikmatan itu bagai menikmatinya dengan sepenuh hati.

Kupalingkan muka sejenak, karena tak tahan dengan libidoku sendiri yang mulai terbakar. Keringat dingin yang menetes di dahiku. Tapi aku segera kembali mengikuti permainan itu, nggak ingin rasanya tertinggal sedetik saja.

Saskia segera merosot satu-satunya CD yang melekat di tubuh Salma yang terlentang di ranjang hingga janda muda itu bagai bayi yang baru terlahir. Kemudian Saskia berdiri di hadapan Salma yang mengerang pasrah.
"It's show time." kata Saskia.

Salma terdiam memandangi Saskia yang mulai melucuti lingerinnya. Kain tipis itu meluncur turun meninggalkan tubuh Saskia yang bugil total. Nampaklah dada Saskia yang membusung bengkak menggemaskan, juga bukit kemaluannya yang licin tanpa bulu. Saskia mulai meremas-remas buah dadanya sendiri, membangkitkan gairah Salma hingga pada titik puncaknya. Diremasnya kedua payudaranya dengan gerakan memutar hingga kedua gunung kembar itu bergoyang-goyang menantang. Dan bagai iklan sabun Saskia membelai tubuhnya sendiri, dari dada.. perut.. hingga kemaluannya yang gundul. Tubuhnya meliuk-liuk lalu menungging membelakangi Salma dan memamerkan kesekalan bokongnya kemudian menyibak lorong kecil yang merah merekah. Nampak liang kawin Saskia yang berlumuran lendir putih kental. Saskia memasukkan jemari telunjuknya ke dalam liang kawin itu. "Aagh.." desah Saskia pelan. Lalu ditariknya telunjuk yang telah basah itu. Kemudian dijilatnya dengan mata sayu menatap Salma. Oh, Batara Kala.. jangankan Salma, akupun merasa terbakar gairah.

Salma segera memburu Saskia. Dalam keadaan berdiri diterkamnya kedua payudara Saskia secara bergantian sedangkan tangannya mengerayangi setiap lekuk kemaluan Saskia yang telah basah betul. "Sall.. ough.." desah Saskia sambil mendekap kepala Salma erat. Dengan buas Salma melakukan pembalasan atas semua lumatan Saskia.
"Aaagghh.." pekik Saskia ketika Salma menghisap puting payudaranya sekuat tenaga.

Saskia berkelojotan ambruk di kasur. Salma menindihnya dan terus melumat buah dada Saskia yang bagai mau meledak. Kedua kaki Saskia menyilang bagai mengunci tubuh Salma. Jemari Salma kembali beroperasi di sekitar kemaluan Saskia.
"Sal.. ayo.. masukkan Sal.. aghh.." ujar Saskia sambil mengacung-acungkan sebatang dildo kepada Salma. Salma mengerti apa yang Saskia mau. Maka Salmapun segera memasukkan dildo itu perlahan-lahan pada lubang kawin Saskia.

"Ee.. eghh.. ehh.." Saskia mengedan sebentar lalu, krak! nampaknya selaput dara Saskia semakin sobek saking kerasnya sodokan Salma.
"Aagh.. brengsek..!" pekik Saskia ketika Salma menghunjamkan dildo itu seluruhnya ke dalam lubang kawin Saskia. Agak sakit mungkin, karena sebelumnya Saskia selalu melakukannya dengan perlahan-lahan dan tidak sepenuh itu. Tapi sodokan yang keras dan cepat itu memberikan kenikmatan yang belum pernah Saskia rasakan.

"Tenanglah Sas.. nanti pasti enak.." kata Salma sembari menggoyang-goyangkan batang dildo yang tinggal dua senti itu. Dan benar saja, tubuh Saskia terguncang-guncang nikmat. Peluh membanjir di seluruh tubuhnya yang terkulai lemas. Kelincahan tangan-tangan Salma yang menggoyang tubuhnya sambil terus meremas-remas payudaranya membuat Saskia tak tahan lagi.
"Sal.. aku keluar nih.. eghh.." Saskia mengedan sebentar lalu terkapar lemas.

Salma segera menarik dildo dari lubang kawin Saskia. Dildo itu berlumuran cairan kawin Saskia yang membanjir. Salma berbaring di samping Saskia dengan wajah kecewa.
"Makasih ya, Sal. Aku puas banget." kata Saskia
"Sas, kamu curang. Aku kan belum selesai." ujar Salma kesal.
"Iya, tunggu sebentar say.. biar aku pulihkan tenaga." jawab Saskia membelai wajah Salma.

Salma hanya diam, tapi roman mukanya kurang sedap. Karena merasa tak enak hati, maka Saskia kembali membelai-belai payudara Salma. Salma memandang Saskia degan mata sayu, kemudian di belainya kemaluan Saskia yang masih basah.
"Hik.. kik.." Saskia mengikik kegelian sedang Salma tersenyum-senyum menikmati rasa dingin yang menyiram tubuhnya yang ditimbulkan dari gelitikan jemari Saskia di kedua puting susunya. Saskia meraih batang dildo yang tergeletak tak jauh darinya lalu menyodorkannya ke wajah Salma.
"Ayo jilatlah sayang.." bisik Saskia.

Walaupun sedikit jijik, Salma menuruti keinginan Saskia. Dijilatinya ujung dildo yang masih basah oleh lendir kawin Saskia itu. Pikiran Salma melayang pada Bas, mantan suaminya. Maka dengan ganas dijilatinya ujung dildo itu bagaikan menjilati penis Bas yang luar biasa besarnya. Walaupun belum pernah melakukannya sebelumnya, tapi nampaknya Salma sangat menikmatinya. Apalagi jemari Saskia mengutak-atik isi kemaluannya. Menyusuri lorong sempit di antara rimbunan belantara dan menyentil-nyentil daging kecil yang tumbuh diantara goanya.

"Ough.. Saskii.." Salma menumbruk Saskia dengan liar. Namun Saskia lebih cepat membantingnya, hingga posisinya kembali berada di bawah kendali Saskia. Saskia segera mengambil posisi 69.
"Ayo Sall.. kamu makan bagianmu, dan aku makan bagianku yach.."
Terhampar di depan Saskia sebidang hutan nan lebat yang telah basah dan becek. Jemari Saskia ikut membantu menyibak belukar basah itu. Lidahnya menjulur melintasi semak belukar hingga masuk ke mulut goa. Lidah itu menyusuri goa itu hingga kemudian menjilati ujung daging kecil yang tersembul merah dan kenyal. Dihisapnya hingga daging kecil itu mengembang hingga membuat Salma yang sibuk dengan vagina Saskia mendengking tertahan,
"Achh.. ehmm.. eennaakk.."

Tak tahan dengan rangsangan Saskia yang begitu dasyat, Salma menggigit-gigit kecil vagina mayora Saskia. Saskia pun mendengking perlahan,
"Ough.. Sal.. sakit.."
Dan secara bersamaan tubuh keduanya menegang dan..
"Uachg..!" Suurr.. lendir-lendir kenikmatan mereka mengalir dengan deras. Salma merintih dalam nikmat. Lalu keduanya saling menjilat seluruh cairan kental itu hingga tandas. Rasa nikmat yang tercipta seakan ikut terasa olehku. Akupun merasa ada cairan basah yang menetes dari kemaluanku.

"Saski.. ayo masukkan penisnya.. sebelum aku keluar.." perintah Salma. Saskiapun segera meraih dildo dan membenamkannya ke dalam lubang kawin Salma. Namun lubang kawin Salma tak selebar milik Saskia, hingga Saskia harus perlahan-lahan menyodokkannya.
"Engh.. terus Sass.." pekik Salma yang terdiam menikmati sodokan Saskia.
Perlahan batang dildo itu amblas dimakan oleh lubang kawin Salma. Janda itu menangis merasakan kenikmatan yang lama tak terasakan itu. Saskia bangkit dan segera mengocok dildo yang bersarang di lubang kawin Salma. Gerakannya yang ritmis membuat Salma terantuk-antuk. Ranjang itu berdecit-decit seakan bersorak atas rasa puas yang dirasakan oleh Salma. Dan untuk kedua kalinya Salma mengalami orgasme yang nikmatnya tiada tara.

Aku berpaling dan menjauh dari lubang pengintipanku itu ketika Salma menangis bahagia. Dan Saskia memeluknya mesra seraya berkata, "Salma, mulai sekarang akulah milikmu. Kau tak sendiri lagi karena aku akan selalu sayang padamu. Maukah kau menjadi kekasihku, Salma?" Dan Salma pun menangis di pelukan Saskia.

Kubasuh peluh yang mengalir di keningku dan juga airmata yang membasah di pipiku. Akupun segera meningalkan kamar Bella. Malam itu di kamar Salma, aku mendapati pengalaman yang tak mungkin terlupakan.

Cerita seru Dari Les Ke Cintanya Gita

Namaku Nova, l mahasiswa di sebuah perguruan tinggi swasta di Malang. Kisah ini kualami saat aku bertemu dengan seorang gadis yang bernama Gita. Gita adalah seorang gadis pelajar sebuah SMU di kota Malang. Perkenalan kami berawal disaat aku mengantar adikku di pesta ulang tahun temannya. Wajah yang cantik pikirku saat aku mulai bertatapan mata dengan dia. Entah bagaimana, lanjutnya hingga seminggu setelah perkenalan kami peristiwa ‘nikmat’ ini terjadi.
Saat itu cuaca kota Malang sedang mendung, sekitar pukul 16.40 aku menerima telepon dari Gita, bahwa dia akan datang ke rumah kontrakanku untuk belajar Fisika bersama. Kira-kira pukul 18.00 bel pintu rumahku mengalun, segera kubuka pintunya dan betapa aku sangat terpesona melihat pemandangan indah yang kini ada di hadapanku.
“Gita.., e.. e.. si.. silakan masuk..!” kataku dengan agak terpatah-patah.
“E.., Rina ada Mas..?” tanyanya sambil pandangannya melihat ke dalam rumah.Saat itu memang Rina adikku sedang pergi ke rumah tante yang tidak jauh dari jalur rumah kontrakanku. Tidak lama kemudian kami duduk di sofa ruang tamu sambil mengerjakan tugas Fisika yang diberikan gurunya siang tadi.
“Ada PR apa..?” tanyaku.
“Ini lho Mas.. diberi tugas untuk ngerjakan bab tentang Thermodinamika. Padahal aku paling sebel deh kalo belajar fisika,” ungkapnya dengan nada agak sewot.
“Ya udah.. nggak pa-pa, entar kalo Mas bisa Mas bantuin ya..?”Segera aku mengambil posisi duduk melantai di antara meja dan sofa. Gita pun segera mengeluarkan buku yang sejak tadi bernaung di dalam tas warna hijau muda yang dibawanya. Akhirnya aku pun ikut bermain dalam soal-soal yang dia kerjakan. Sesekali saat aku menjelaskan tentang jawaban itu, pandangannya kurasakan kosong menuju wajahku. Dan terkadang tanpa sengaja, siku tanganku menyentuh dua buah tonjolan yang ada di bagian dadanya.“Sebentar.., Mas buatin minum dulu ya..?” kataku sambil beranjak dari sampingnya.
Tidak berapa lama kemudian aku kembali sambil membawa dua buah gelas minuman.
“Rina.. kok belum datang juga sich Mas..?” ungkapnya manja.
“Tunggu aja.. entar lagi dia pulang.” jawabku.
“Oh ya.., gimana PR-nya, udah beres atau.. masih ada lagi yang harus dikerjakan..?” kataku sambil kembali aku duduk di posisi semula.
“Kayaknya.. udah.” jawabnya sambil membuka lembaran buku tugasnya.Waktu terus berjalan.. dan kulihat saat itu sudah pukul 19.25 WIB. Saat itulah aku mulai merasakan ada getar-getar nafsu yang kian menggelora di dalam benakku. Saat itulah aku mulai berani mengungkapkan kata-kata rayuan yang membuatnya tersipu. Entah berawal dari mana hal ini terjadi. Kupegang lengan tangannya.., dia mulai memandangku dengan penuh rasa malu. Namun tidak kuhentikan aksiku disini, malahan aku semakin berani untuk membenamkan bibirku ke bibirnya yang mungil dan merah basah itu.Sepintas aku melihat dia memejamkan matanya dengan sayup, dan membalas kecupan bibirku dengan lembutnya. Tanganku mulai menjelajah di bagian-bagian sensitifnya. Kuselipkan tanganku di bagian kancing bajunya, aku semakin bernafsu saat aku menyentuh dan meremas bagian payudaranya yang kenyal dan padat berisi itu.
Segera aku merayap turun menciumi bagian lehernya, dan.. “Ouhgf..!” terdengar lirih desah nafasnya yang membuat nafsuku semakin menggejolak.Tiba-tiba.., “Kring.., kring..,” kami sempat terkejut mendengar suara telepon itu.
Segera aku berdiri untuk menerima telepon tersebut.
“Halo..?” terdengar suara disana yang aku hafal betul, itu suara Rina.
“Mas.. sorry, aku nggak pulang malam ini. Aku bobok di rumah Tante Mira. Oh ya.., kalau Gita datang, bilangin bukunya ada di alamari bacaku. Udah dulu ya.., daag..,” katanya tanpa memberi aku kesempatan untuk menjawab.
Dengan agak kesal kuletakkan gagang telepon di tempatnya.“Telpon dari siapa Mas..?” kutangkap suara itu dari hadapanku berdiri.
“Oh.., ini dari Rina. Dia nggak pulang malam ini..,” kataku.
“Jadi Rina nggak pulang..? Kalo gitu saya pulang dulu ya Mas..!” katanya sambil memasukkan buku-bukunya ke dalam tasnya.
“Eit.., mau kemana..?” tanyaku sambil aku mendekatinya.
“Gita.., malam ini kamu tidur di sini aja. Besok pagi aku anterin pulang deh..,” kataku.
“Tapi..” jawabnya.Tanpa basa basi aku ambil gagang telepon dan segera kutelepon rumahnya, dan kusampaikan pada orang tuanya hal tersebut. Segera aku menutup semua pintu rumah, dan membimbingnya masuk ke dalam kamarku. Di sana kami melanjutkan percumbuan yang sejak tadi tidak dapat kutahan.
Kurebahkan tubuhnya di atas tempat tidurku.., dan.., “Mas..” kudengar lirih suaranya mengharap padaku untuk meneruskan ciuman yang saat itu kuhujamkan ke bagian sela-sela leher dan dagunya.
Aroma tubuh yang menggejolak membuatku semakin panas. Tanganku meraih lipatan kain yang menutupi bagian dadanya, kusibakkan kain tersebut dan kini.. aku melihat dengan jelas dua buah bukit yang padat berisi dengan lembah sekelilingnya berwarna putih.., bersih dan, oh.. sangat menggairahkan.Entah apa yang dia rasakan.., tiba-tiba ada sesuatu yang menyentuh di bagian depan celanaku, dan ternyata jemari tangannya yang lentik telah mulai menyentuh permukaan penisku yang sejak tadi menegang.
“Aku mau.. menemani kamu malam ini.. tapi, kumohon jangan kau renggut kesucianku sayang..” terdengar pintanya di sela-sela gelora nafsuku yang semakin menjadi.
Aku semakin tidak perduli dengan apa yang dia katakan. Dan tanpa pikir panjang lagi, kulepaskan gaun yang menutupi bagian perutnya ke bawah. Wow.., sungguh pesona yang menajubkan, kulihat CD-nya yang berwarna jingga terasa membias dan menambah semakin tinggi hasratku untuk.. eghghgh. Kutarik CD-nya hingga sempurnalah kini tubuhnya untuk telanjang bulat.Betapa tidak aku terangsang, tubuh yang putih mulus dan sangat beautiful itu kini tergeletak di hadapanku tanpa sehelai benang. Aku hanya melihat dia memejamkan matanya sambil terdengar isak tangis kecil yang semakin menambah indah malam itu. Seperti terhipnotis.., dia hanya diam saat aku menjilati bagian vaginanya. Aroma khas vagina yang selama ini selalu kudambakan kini telah menyelubungi semua hidungku. Lidahku semakin berani untuk mejulur masuk ke sela-sela liang itu. Tidak lama kemudian kurasakan vagina itu basah oleh cairan yang keluar dari liang itu.
Dan kudengarkan, “Eeefsstt.., Mass.. oughf..!” desisan nafsu dari seorang gadis SMU.Segera kuatur posisi ‘69? agar aku pun merasakan hal yang sama. Kira-kira 15 menit kulakukan itu. Kini tibalah untuk penisku yang tegang dari tadi, kini mulai menyentuh bibir luar vagina Gita yang sudah cukup basah dengan cairan. Kuselipkan pelan.. pelan.. masuk ke dalam dan sedikit demi sedikit kurasakan cengkraman otot-otot vaginanya.Sementara itu .. aku dengarkan lirih .. suara Gita menahan sakit karena tekanan penisku kedalam liang vaginanya. Sesaat kemudian aku benar-benar telah menembus “gawang” keperawanan Gita sambil teriring suara jeritan kecil “Ooohhgfg.. sa..kiit..Mass..”, aku pun semakin cepat untuk mengayunkan pinggulku maju mundur .. demi tercapainya kepuasan ..Kira-kira 10 menit aku melakukan gerakan itu. Tiba-tiba aku merasakan denyutan yang semakin keras untuk menarik penisku lebih dalam lagi, dan.. “Terus.., Mas.., terus.. kan..! Ayo.., teruskan.. sedikit lagi.., ayo..!” kudengar pintanya sambil mengikuti gerakan pinggulku yang semakin menjadi.
Dan tidak lama kemudian badan kami berdua menegang sesaat, lalu.., “Seerr..!” terasa spermaku mencair dan keluar memenuhi vagina Gita, kami pun lemas dengan keringat yang semakin membasah di badan.Kulihat Gita begitu beseri sambil menciumi tubuh dan bibirku.
Dia kemudian berkata, “Cintailah aku selamanya.., agar kau dan aku akan selalu merasakan hal ini..”
Segera kucabut penisku yang masih tenggelam di dalam vaginanya, dan kurasakan hangat serta kulihat merah darah perawannya Gita.Aku tiba-tiba terbangun, dan kusadari kini Gita telah ada di sampingku sebagai calon isteriku yang sebentar lagi menikah. Kusadari hal itu semua hanyalah.. mimpi yang indah.

Monday 30 January 2012

Cerita seru Pengalaman Bertiga

Aku bekerja di sebuah perusahaan Event Orgenizer yang cukup terkenal di Jakarta. Disana aku bekerja sebagai Senior Account Executive. Klien terbesarku adalah U*******r. Aku telah banyak menggoalkan proposal event yang kukerjakan bersama teamku, namun pada saat presentasi biasanya aku sendirian atau berdua dengan staffku seorang junior account executive atau salah seorang dari team kreatif.

O ya, namaku Aryo, biasa dipanggi Ari. Usiaku 29 tahun belum menikah, belum punya pacar, saat ini. Asli Bandung namun aku mengontrak rumah kecil, dekat yang dengan kantorku di bilangan Gatot Subroto. Penghasilanku lumayan, hasil tabunganku 4 tahun bekerja di 3 perusahaan periklanan, dapat membeli mobil yang kuidamkan, sebuah Mercy Tiger tahun 1986, warna hitam dan gaya custom pelek lebar 18 inch, body ceper gaul, dan audio dengan sound quality yang memanjakan telinga. Cukup cocok mendukung pekerjaan dan penampilanku. Setidaknya orang dapat menilaiku seorang eksekutif menengah di sebuah perusahaan.

Senin pagi itu aku ada janji bertemu dengan Brand Manager U******r, untuk produk shampo terkenal, berkaitan dengan pitching event shampo tersebut yang cukup menyita waktu istirahatku. Berangkat pagi pulang subuh, selama dua minggu walau diselingi dugem di HR atau di daerah Kemang sebagai pelepas penat.

"Selamat siang, ada yang bisa dibantu?" gadis manis receptionist menyapa dengan senyum ramah di wajahnya.
Lumayan, agak menurunkan tensi, karena terus terang hari itu aku merasa tegang sekali berkaitan dengan proposal event yang sempat aku presentasikan seminggu yang lalu.

"Bisa bertemu dengan Ibu Silvy? Saya ada janji bertemu dengan beliau, Saya Ari, dari I*****", sambil menunjukkan name tag-ku.
"Mohon ditunggu sebentar, Ibu Silvy sedang ada tamu", sambil mempersilahkan duduk, Cinthya tersenyum kembali.
Kutahu namanya dari name tag-nya.
"Revi kemana Mbak?" tanyaku menanyakan receptionist yang pernah kutemui saat aku presentasi.
"Dia sudah resign, persis satu minggu yang lalu".
Ooo.. berarti ketika aku presentasi, hari itu adalah hari terakhirnya Revi.

Imut sekali. Lebih cantik dari Revi Tidak terlalu tinggi, tapi terlihat manis dengan blazer coklat, blouse krem dan rok sepaha, yang cukup lumayan tinggi, hingga kulit pahanya yang mulus terlihat dengan jelas. Sepatu hak tinggi menambah seksi kaki mungil cinthya. Usianya kira-kira 24 atau 25 tahun. Ah,.. sudahlah, setidaknya dengan melihat Cinthya pikiran ku agak sedikit rileks, berhubung minggu lalu aku dibantai habis-habisan oleh Ibu Silvy, mulai dari konsep event hingga budget yang kuajukan. Berbeda dengan brand manager produk lainnya, Ibu Silvy agak sedikit dingin namun kritis sekali dalam menilai sebuah proposal. Pertanyaan yang bertubi-tubi pada saat presentasi menandakan beliau sangat berpengalaman sekalidalam menghandle produk. Saat fantasiku melayang memikirkan Cinthya dengan lingeries (dasar cowok), tiba-tiba suara Cinthya memecah konsentrasiku..

"Pak Ari, silakan, ditunggu di ruang kerja Ibu Silvy", sambil berdiri dekatku yang duduk di sofa ruang tunggu.
Bau Cool Water women tercium harum sekali menambah tajamnya fantasiku tentang Cinthya, yang kusimpan dulu sementara untuk dilanjutkan setelah bertemu Ibu Silvy. Cinthya jalan didepan mengantarku menuju raung kerja Ibu Silvy. Roknya cukup ketat, hingga menampilkan garis CD yang tidak biasanya ku lihat.. G-String! Woow.. Kalau aku Ryo Saeba (City Hunter) tentunya aku telah dibuatnya mimisan. Tamu Ibu Silvy terlihat keluar dari ruangan Ibu Silvy. Sososk yang tidak mungkin kulupakan, Hendra! bajingan itu mencuri konsepku dua tahun yang lalu ketika sama-sama kerja di B**O. Kurang ajar.. ngapain dia ketemu Ibu Silvy? Apakah dia mengerjakan proyek yang sama seperti aku tangani sekarang? Diakah musuh pitchingku? Who cares! Ketika saling papasan kami hanya saling pandang sebentar dan berlalu begitu saja..

"Ibu, Pak Ari dari I*****", Cinthya memberitahu Ibu Silvy yang sedang duduk menghadap jendela kaca.
Begitu membalik, Ibu Silvy sedang memegang proposalku dan melemparnya ke meja dihadapan beliau. Glek! This could be the end of the world.. Perasaanku semakin tidak enak, karena pengalamanku selama mengerjakan 19 proposal proyek event atuapun Integrated Marketing Communication, hanya 2 yang ditolak, itupun kalah pithcing denga agensi lain. Berarti ini yang ketiga dari 20.. que sera sera.. what ever will be, will be.

"Duduk Ri,.." seiring pintu ditutup Cintya dari luar.

Kira-kira 3 menit ruangan itu hening. Terus terang aku semakin grogi dibuatnya. Tidak terpikirkan satu katapun untuk diluncurkan membuka kebekuan ini. Ibu Silvy melihat proposalku sambil sesekali melirik padaku. Gilaa.. Aku semakin salah tingkah dibuatnya.. tidak pernah sebelunya aku merasa setegang ini dan menjadi tidak pede.

"Ha.. ha.. ha.. ha.. nggak usah tegang gitu deh Ri!" sambil berdiri dan berjalan ke lemari es kecil di samping sofa di ruangannya.
"Mau minum apa Ri..?" sambil membuka lemari beliau berkata.
Puihh.. tensiku sedikit menurun.

"Ehm.. anything you drink.. same as you I guess", masih beku lidahku, walaupun di lemari es itu kulihat Vodka Cruiser, minuman kegemaranku.
Beliau mengambil 2 Coke kaleng dingin. Satu ditaruhya di depanku setelah sebelumnya beliau buka.

"Honestly.. I do like your proposal.. very much!" sambil kemudian meneguk Coke dari kalengnya.
Sedikit mengibaskan rambutnya sebelum minum, leher jenjangnya terlihat putih, sangat seksi..

Hampir loncat dari kursi aku mendengarnya dan berteriak hore.. Namun tidak kulakukan.. Jaim.. jaim Ri..

"O ya..? How could you posibbly like my proposal? Perasaan aku bikinnya nggak begitu pede bu," kataku merendah, sambil kumundurkan badanku menyentuh sandaran, hingga merasa rileks.

"Oo.. jadi kalo pede, mungkin lebih bagus lagi yaa..? Ah, lu bisa aja deh Ri", sambil sedikit tertawa.
Hari itu Ibu Silvy yang kukenal ketika pertama kali presentasi sangat berbeda. Imageku tentang Bu Silvy langsung berubah 180 derajat. She's so lovely today.

"Mmm, sini deh Ri..!" kembali berdiri dan berjalan menuju sofa.
Sedari tadi baru sekarang aku penampilan Ibu Silvy yang begitu menggairahkan, karena konsentrasiku masih tertuju pada proposal. Blouse putih, tipis ketat, menampilkan garis bra hitam yang begitu menggoda. Rok tinggi hitam dan stocking hitam tipis membungkus kakinya, ditambah sepatu hak tinggi bergaya stilletto semakin menambah beliau seksi.

Aku berjalan mengikuti beliau duduk di sofa. Beliau duduk di one piece sofa sedangkan aku duduk di sofa besarnya. Aku duduk agak di tengahnya dan beliau duduk di sofa sebelah sofaku dan membentuk sudut 90 derajat kira-kira.

"I like the idea about hair test.., hal itu dapat membangkitkan ketergantungan konsumen pada produk S*****k. I mean, we can find the reason why people must use certain variances..", kulihat semangat di matanya, pertanda proposalku diterima. Bahasanya campur aduk Inggris-Indonesia, lu gue, dan segala kosa kata yang masih kumengerti.

Percakapan itu semakin hangat. Gestur Ibu silvy semakin santai dengan bermacam posisi. Sekali-kali bersandar, kemudian maju lagi. Seringkali menyilangkan kakinya bolak-balik, membuat aku sedikit melirik ke arah pahanya dan memikirkan apa yang ada di balik roknya, membuatku semakin tidak enak duduk, karena burungku sudah ingin lepas dari sangkarnya. Apalagi beliau sering sekali menepuk pahaku, walaupun aku sudah berusaha untuk menjauh sedikit, karena ingin menjaga imageku. Hingga akhirnya dudukku semakin ketengah sofa, yang otomatis membuat jarak duduk cukup satu orang di sampingku. Konsentrasiku semakin terpecah, ya mendengarkan Ibu Silvy, sambil sesekali membalas percakapan, dan melihat beberpa bagian tubuh Ibu Silvy, muali dari kancing atas blousnya yang tidak tertutup, yang dengan jelas memperlihatkan dua bukit tertutup bra berlace hitam, dan ke arah bagian paha hingga dalamnya rok atasnya.

"But, before I accept this proposal, ada beberapa hal yang pengen gue omongin sama elu", sambil menarik badannya bersandar pada sofa.
Jarak duduk dia yang agak jauh dengan senderan sofa, membuat dia agak sedikit berbaring. Kedua pahanya terbuka, membuat aku semakin penasaran daerah yang tadinya gelap. Tanggannya menarik sedikit roknya ke atas. Jantungku sedikit berdegup keras, sambil menelan ludah mataku terkonsentrasi pada daerah tadi.

"Gue dari tadi merhatiin elu liatin badan gue.., lu suka khan..?" sambil senyum sedikit menggoda.
"Eehhm.. mm.. mmaksud Ibu..?" tergagap aku mendengar pertanyaan itu.
"Gak usah panggil gue Ibu, panggil gue Silvy", sambil berpindah posisi duduknya di sebelahku.
Gila.. mau ngapain nih si Ibu? Pikirku dalam hati. Terus terang, hasrat kelelakianku makin kuat.
"Don't be so naive.. Ini khan yang lu tunggu..?" bibirnya mendekati mukaku.

Kontan aku menyambutnya. Hilang sudah perasaan sungkanku pada beliau. Yang ada hanya nafsu yang ingin kupuaskan, setelah 2 minggu puasa kebutuhan biologis, mengerjakan proposal proyek ini. Bibir kami bersatu, lidah kami saling menyeruak masuk ke dalam rongga mulut. Sambil mendorong badanku hingga akhirnya tiduran di sofa panjang itu, Silvy, begitulah kupanggil namanya sekarang tanpa atribut Ibu, semakin agresif meraba burung yang masih dalam sangkar namun sudah berdiri tegak. Rasa pegal di burung akhirnya hilang ketika kusadari Silvy telah membuka celanaku, dan mengeluarkan penis yang berdiri tegak, mencari sangkar hangat.

"Jika lu mau proyek ini goal, puasin gue sekarang.. ngerti? Gue gak ragu-ragu untuk menunda atau menolak porposal lu, kalo lu gak puasin gue hari ini..", ancaman itu terdengar menantang sekaligus anugrah yang tak terkira.
Kemejaku telah terbuka, Silvy menjilati dan mencium leherku, kemudian turun menjalar ke bawah, centi demi centi dadaku, hingga akhirnya menjilati dan menciumi putingku. Putingku digigitnya, menimbulkan sensasi luarbiasa. Aku berusaha melepas baju yang dipakai Silvy, hingga akhirnya kulempar entah kemana. Tinggallah silvy hanya menggunakan bra hitam seksi, sambil masih menjilati tiap centi dadaku.

"Oooh.. Sil.. god.. mmh" aku meracau menikmati permainan lidahnya.
Silvy begitu buas menjilati dadaku yang ditumbuhi sedikit bulu. Tanganku meraih pengait bra, dan terlepas. Kulepaskan dan kulempar lagi entah kemana. Kini dua daging kembar itu menyentuh perutku. Semakin Silvy bergerak kebawah, terasa gumpalan daging itu memijat penisku dan semakin memberikan sensasi luar biasa. Tiba-tiba, Silvy menghentikan kegiatannya, dan berdiri.

"Tunggu, gue punya kejutan tambahan buat lo..", sambil berjalan menuju telepon.
"Cin, ke ruangan ku sebentar,.. gantiin tugas mu sama Marini. Minta sama dia, Gue gak mau terima telepon, gue gak terima tamu hari ini sampe jam 5. Is that clear?" jawaban Cinthya di speaker phone mengakhiri permintaan Silvy.
Aku kaget setengah mati, dan buru-buru mengancingkan kemejaku dan berusaha merapikan celanaku.

"Ri, nggak perlu deh lu rapiin, ..", ujar Silvy, seraya pintu dibuka oleh Cinthya.
Cinthya tersenyum ke arahku, sambil mengunci pintu dari dalam dan lalu menghampiri Silvy yang masih berdiri dekat meja. Kekagetanku bertambah, ketika mereka berpelukan dan saling cium ala french kiss. Cinthya meremas payudara Silvy, sambil berciuman.

"Cin, mau kan nemenin aku muasin diriku bareng Ari?" tiba-tiba Silvy berubah jadi romantis.
Cinthya mengangguk tanda setuju dan tersenyum ke arahku. Fantasiku jadi kenyataan, akhirnya aku dapat menikmati tubuh Cinthya.

Mereka berdua menghampiriku. Silvy kembali menciumku, bibir kami saling berpagut. Sementara Cinthya mengeluarkan batang penisku, yang kemudian dihisapnya. Woow sensasi luar biasa.

Gantian kuhisap payudara Silvy, dan dia pun melenguh.
"Eughh.. hmm.. Ari.. ahh..", ceracau Silvy, sambil kuremas pantatnya.
Kusingkapkan roknya, dan ternyata Silvy memakai pantyhose, stocking celana. G-String hitam membayang menambah gairah. Sementara Cinthya masih sibuk dengan penisku. Hisapan sangat enak, pertanda dia pun pengalaman. Sambil membuka satu-persatu pakaiannya, Cinthya menjilati zakarku, ujung penisku pun tak luput dibikin geli olehnya, hingga akhirnya tinggal g-stringnya yang masih menempel.

Aku akhirnya berbaring di sofa panjang, gantian Silvy menjilat dan menghisap penisku, sementara vagina Cinthya berada di atas mukaku. Kujilati vagina yang sudah mulai becek dari sela g-string yang masih menempel.

"Ahh, .. Ehm.. nikmath sekalihh.. uhh..", lidahku menari di vagina Cinthya.
Cinthya membungkuk hingga akhirnya kami membentuk posisi 69, bergabung dengan Silvy yang tengah menghisap penisku. Bergantian mereka menjilat dan menghisap penisku, dan kadang mereka saling menjilat lidah masing-masing, ataupun berciuman.

"Slurp.. Slurp.. mmcup.. ahh.. slurp..", bunyi hisapan bercampur air liur mereka yang membasahi penisku.

"Aaach.. Arii.. ohchh.. aahh", Cinthya berteriak, tanda orgasme.
Mulutku pun belepotan oleh cairan vagina Cinthya. Cinthya beranjak dari mukaku dan duduk di sofa satunya lagi.

"Sekarang giliranmu Sil", kataku mulai berani untuk mengimbangi permainannya.
Rasa sungkan itu hilang seiring munculnya nafsu menggebu untuk turut menikmati vagina Silvy. Silvy berbaring di sofa panjang. Terlihat noda basah di sekitar pantyhose yang menutupi g-string dan vaginanya.

Kujilati perlahan pantyhosenya, menambah lebarnya noda basah tersebut. Kuakui, akhirnya aku menyukai wanita dengan pantyhose terpasang seperti Silvy. Silvy menggelinjang keenakan. Kugigit hingga sobek pantyhosenya, hingga membuat lubang dan dengan jelas menampakkan CD hitam seksinya. Kusingkapkan ke pinggir, hingga celah vagina Silvy terlihat. Peduli amat aku harus ganti atau tidak pantyhosenya. Seribu pantyhose pun yang dia minta pasti kuganti.. mercy aja aku bisa beli apalagi yang begituan.

Penetrasi lidahku semakin buas, membuat Silvy mengerang kenikmatan, dan sesekali berteriak. Kutahu pasti ruangan itu kedap suara, karena pintunya pun sangat tebal, duakali tebal pintu biasa kali. Sementara itu Cinthya yang masih kelelahan, memainkan vaginanya dengan jari, sambil menikmati permainanku dengan Silvy.

Erangan kuat Silvy menandai dia telah mencapai puncaknya, semakin besar pula lah, noda basah di pantyhose sekitar vaginanya.

"Ari.. aku puas banget, Ri sungguh..", Silvy memuji permainan lidahku.
"Just wait ladies, you haven't seen it all..", kataku sambil melepaskan kemeja yang sudah terlepas kancingnya.
Kuturunkan juga celana lea permanent pressku dan CDnya.

Perlahan ku hampiri Silvy yang masih terbaring. Kuraih kaki indah yang masih terbungkus pantyhose hitam. Kujilati ujung kakinya, sambil sesekali kukgigit perlahan, menimbulkan rasa geli yang tak dapat ditahan Silvy, hingga tubuh indah Silvy bergerak ke kanan dan ke kiri. Kaki Silvy menimbulkan bau harum khas yang menambah naiknya libidoku ke ubun-ubun. Ku sususri betis hingga paha dengan lidahku, hingga akhirnya sampai pada vagina basahnya. Sekitar lima menit kujilati, lalu aku berdiri tegak. Bagai pedang terhunus, ku dekatkan penis tegak ini ke vagina Silvy. Lewat lubang pantyhose yang kubuat dan celah g-string yang tersingkap, ku mainkan penisku, mengusap labia mayora Silvy yang sudah becek.

"Masukin.. Ri.. Ayoo.. Masukin sayang, aku udah nggak tahan.. jangan sikhsa akuhh Rii.. Ingat proposalmu sayang.. ohh.." dalam keadaan terangsangpun Silvy masih bisa mengancam.

"Siap ya sayang..," dan perlahan centi-demi centi batang penisku amblas di vagina hangat dan sempit ini.
Bless.. seluruh batangku dilahap vagina Silvy. Rasa hangat dan geli semakin terasa. Apalagi vagina Silvy seperti memijat penisku. Perlahan kucabut dan kumasukkan kembali dengan tempo yang semakin cepat. Tangan Silvy merangkul leherku. Gerakan pantatku maju mundur dengan irama yang makin cepat.

"Oh.. Oh.. Oh.. Good.. ah.. aa.. aahh" kata-kata itu muncul seirama dengan keluar masuknya penisku di vagina Silvy.
Smentara itu Cinthya yang sedari tadi memainkan vaginanya, menghampiri Silvy. Bibir mereka saling berpagut, kemudian lidah Cinthya menjalar ke leher hingga payudara Silvy. Dihisapnya puting Silvy sambil sesekali digigitnya.

"Damn it, You fuck me ghhoodd.. occhh..Shit!" Silvy kembali meracau.
"I wanna cum.. I wanna cumm.. AAHH.. Shit.. You're really good honey..".
Tidak percuma aku merawat tubuhku di Gym hotel Mulia Senayan. In fact, aku juga punya langganan tetap penyaluran hasratku di sana. Seorang Instruktur aerobic cewek.

Kucabut perlahan penisku dari vagina Silvy. Aku menghampiri pantat Cinthya yang masih sibuk menjilat puting payudara Silvy. Kuturunkan CD-nya, dan kulepas dari kakinya. Kuciumi sebentar, dan aromanya membuat libidoku semakin meledak. Kugigit g-string warna krem tadi sambil kuarahkan penisku, mencari lubang anus Cinthya. Kubasahi penisku dengan ludahku sendiri. Cinthya tampak agak keberatan karena pantatnya bergerak-gerak terus kiri kanan. Namun sekali kesempatan kupegangi kuat-kuat pantanya. Kumasukkan perlahan. Cinthya menjerit. Pertama akupun merasa perih, namun lama-lama, seiring dengan banyaknya ludah kuoleskan di penis, semain licin pula jalan masuk. Cinthya pun merasa keenakan, mendapat sensasi baru ini.

"Ari.. Achh.. Nikmat sekali.. aduuhh.. Ari.. cepetin dong.. achh" racau Cinthya.

"Yes, fuck her in the ass baby!", seru Silvy sambil mengubah posisi dengan vagina menghadap muka Cinthya.
Cinthya tidak melepaskan kesempatan untuk menjilat vagina Silvy. Permainan tetap berjalan bertiga. Sesekali kutampar pantat Cinthya, membuat Cinthya melenguh kesakitan, namun suaranya menambah sensasi.

Geli di ujung penisku semakin kuat. Tak berapa lama ku cabut batang penisku. Cinthya membalik menghadap penisku sambil duduk di sofa. Begitu pula Silvy. Kukocok cepat penisku, sementara mulut mereka telah siap menerima spermaku.

"Give it to me darling.. yes.. shake it..! seru Silvy menyemangati kocokanku.
"Ayo Ri.. aku udah lama nggak minum sperma.. c'mon Ri", Cinthya pun turut menyemangati pula bersahut-sahutan dengan Silvy.

"I'm Cumming.. oh.. oh.. oh.. AARGHH..!", teriakku, seiring dengan keluarnya sperma, menyemprot muka mereka berdua silih berganti.
Cinthya dan Silvy menjilati leleran spermaku di mukanya, sesekali mereka juga saling menjilat. Oooh, pengalaman pertama orgyku yang hebat.

Aku terduduk lemas, mereka menghampiriku sambil kemudian menjilati batang penis yang masih penuh dengan sisa-sisa sperma. Tentunya perbuatan mereka membuatku menggelinjang.

"Ok, Ri, .. you're the best fucker I've ever know.. and proposal lu juga gue terima", kata Silvy sambil duduk di samping kananku.
Sementara Cinthya berada di samping kiriku. Kenikmatan ganda yang tiada duanya.
"Ri, thank you very much", ujar Cinthya sambil kemudian melumat bibirku.

Begitulah hari itu, 4 Jam kami bercinta, dan merupakan awal dari petualangan orgy ku selanjutnya.

Sunday 29 January 2012

Cerita seru Aduh Ayah

Aku adalah anak tunggal. Ibuku adalah seorang wanita yang disiplin dan agak keras sedangkan ayahku kebalikannya bahkan bisa dikatakan bahwa ayah di bawah bendera ibu. Bisa dikatakan ibulah yang lebih mengatur segala-galanya dalam keluarga. Namun, walaupun ibu keras, di luar rumah aku termasuk cewek bandel dan sering tukar-tukar pacar, tentunya tanpa sepengetahuan ibuku. Tapi suatu saat, pada saat aku duduk di kelas 2 SMA, ibuku pergi mengunjungi nenek yang sakit di kampung. Dia akan tinggal di sana selama 2 minggu. Hatiku bersorak. Aku akan bisa bebas di rumah. Tak akan ada yang memaksa-maksa untuk belajar. Aku juga bebas pulang sore. Kalau Ayah, yah.. dia selalu kerja sampai hampir malam.

Pulang sekolah, aku mengajak pacarku, Anton, ke rumah. Aku sudah beberapa kali mengadakan hubungan kelamin dengannya. Tetapi hubungan tersebut tidak pernah betul-betul nikmat. Selalu dilakukan buru-buru sehingga aku tidak pernah orgasme. Aku penasaran, bagaimana sih nikmatnya orgasme?

Singkat cerita, aku dan Anton sudah berada di ruang tengah. Kami merasa bebas. Jam masih menunjukkan angka 3:00 sedangkan ayah selalu pulang pukul enam lewat. So, cukup waktu untuk memuaskan berahi. Kami duduk di sofa. Anton dengan segera melumat bibirku. Kurasakan hangatnya bibirnya. "Ah.." kurangkul tanganku ke lehernya. Ciumannya semakin dalam. Kini lidahnya yang mempermainkan lidahku. Tangannya pun mulai bermain di kedua bukitku. Aku benar-benar terangsang. Aku sudah bisa merasakan bahwa vaginaku sudah mulai basah. Segera kujulurkan tanganku ke perut bawahnya. Aku merasakan bahwa daerah itu sudah bengkak dan keras. Kucoba membuka reitsleting celananya tapi agak susah. Dengan segera Anton membukakannya untukku. Bagai tak ingin membuang waktu, secara bersamaan, aku pun membuka kemeja sekolahku sekaligus BH-ku tapi tanpa mengalihkan perhatianku pada Anton. Kulihat segera sesudah CD Anton lepas, senjatanya sudah tegang, siap berperang.

Kami berpelukan lagi. Kali ini, tanganku bebas memegang burungnya. Tidak begitu besar, tapi cukup keras dan berdiri dengan tegangnya. Kuelus-elus sejenak. Kedua telurnya yang dibungkus kulit yang sangat lembut, sungguh menimbulkan sensasi tersendiri saat kuraba dengan lembut. Penisnya kemerah-merahan, dengan kepala seperti topi baja. Di ujungnya berlubang. Kukuakkan lubang kecil itu, lalu kujulurkan ujung lidahku ke dalam. Anton melenguh. Expresi wajahnya membuatku semakin bergairah. "Ah.." kumasukkan saja batang itu ke mulutku. Anton melepaskan celana dalamku lalu mempermainkan vaginaku dengan jarinya. Terasa sentuhan jarinya diantara kedua bibir kemaluanku. Dikilik-kiliknya klitorisku. Aku makin bernafsu. Kuhisap batangnya. Kujilati kepala penisnya, sambil tanganku mempermainkan telurnya dengan lembut. Kadang kugigit kulit telurnya dengan lembut.

"Nit, pindah di lantai saja yuk, lebih bebas!"
Tanpa menunggu jawabanku, dia sudah menggendongku dan membaringkanku di lantai berkarpet tebal dan bersih. Dibukanya rok abu-abuku, yang tinggal satu-satunya melekat di tubuhku, demikian juga kemejanya. Sekarang aku dan dia betul-betul bugil. Aku makin menyukai suasana ini. Kutunggu, apa yang akan dilakukannya selanjutnya. Ternyata Anton naik ke atas tubuhku dengan posisi terbalik, 69. Dikangkangkannya pahaku. Selanjutnya yang kurasakan adalah jilatan-jilatan lidahnya yang panas di permukaan vaginaku. Bukan itu saja, klitorisku dihisapnya, sesekali lidahnya ditenggelamkannya ke lubangku. Sementara batangnya tetap kuhisap. Aku sudah tidak tahan lagi.

"Ton, ayo masukin saja."
"Sebentar lagi Nitt."
"Ah.. aku nggak tahan lagi, aku mau batangmu, please!"
Anton memutar haluan. Digosok-gosokannya kepala penisnya sebentar lalu.. "Bless.." batang itu masuk dengan mantap. Tak perlu diolesi ludah untuk memperlancar, vaginaku sudah banjir. Amboy, nikmat sekali. Disodok-sodok, maju mundur.. maju mundur. Aku tidak tinggal diam. Kugoyang-goyang juga pantatku. Kadang kakiku kulingkarkan ke pinggangnya.

Tiba-tiba, "Ah.. aku keluar.." Dicabutnya penisnya dan spermanya berceceran di atas perutku.
"Shit! Sama saja, aku belum puas, dia sudah muntah," rungutku dalam hati.
Tapi aku berpikir, "Ah, tak mengapa, babak kedua pasti ada."
Dugaanku meleset. Anton berpakaian.
"Nit, sorry yah.. aku baru ingat. Hari ini rupanya aku harus latihan band, udah agak telat nih," dia berpakaian dengan buru-buru. Aku betul-betul kecewa.
"Kurang ajar anak ini. Dasar egois, emangnya aku lonte, cuman memuaskan kamu saja."
Aku betul-betul kecewa dan berjanji dalam hati tak akan mau main lagi dengannya. Karena kesal, kubiarkan dia pergi. Aku berbaring saja di sofa, tanpa mempedulikan kepergiannya, bahkan aku berbaring dengan membelakanginya, wajahku kuarahkan ke sandaran sofa.

Kemudian aku mendengar suara langkah mendekat.
"Ngapain lagi si kurang ajar ini kembali," pikirku. Tapi aku memasang gaya cuek. Kurasakan pundakku dicolek. Aku tetap cuek.
"Nita!"
Oh.. ini bukan suara Anton. Aku bagai disambar petir. Aku masih telanjang bulat.
"Ayah!" aku sungguh-sungguh ketakutan, malu, cemas, pokoknya hampir mati.
"Dasar bedebah, rupanya kamu sudah biasa main begituan yah. Jangan membantah. Ayah lihat kamu bersetubuh dengan lelaki itu. Biar kamu tahu, ini harus dilaporkan sama ibumu."
Aku makin ketakutan, kupeluk lutut ayahku, "Yah.. jangan Yah, aku mau dihukum apa saja, asal jangan diberitahu sama orang lain terutama Mama," aku menangis memohon.

Tiba-tiba, ayah mengangkatku ke sofa. Kulihat wajahnya makin melembut.
"Nit, Ayah tahu kamu tidak puas barusan. Waktu Ayah masuk, Ayah dengar suara-suara desahan aneh, jadi Ayah jalan pelan-pelan saja, dan Ayah lihat dari balik pintu, kamu sedang dientoti lelaki itu, jadi Ayah intip aja sampai siap mainnya."
Aku diam aja tak menyahut.
"Nit, kalau kamu mau Ayah puasin, maka rahasiamu tak akan terbongkar."
"Sungguh?"
Ayah tak menjawab, tapi mulutnya sudah mencium susuku. Dijilatinya permukaan payudaraku, digigitnya pelan-pelan putingku. Sementara tangannya sudah menjelajahi bagian bawahku yang masih basah. Ayah segera membuka bajunya. Langsung seluruhnya. Aku terkejut. Kulihat penis ayahku jauh lebih besar, jauh lebih panjang dari penis si Anton. Tak tahu aku berapa ukurannya, yang jelas panjang, besar, mendongak, keras, hitam, berurat, berbulu lebat. Bahkan antara pusat dan kemaluannya juga berbulu halus. Beda benar dengan Anton. Melihat ini saja aku sudah bergetar.

Kemudian Aku didudukkannya di sofa. Pahaku dibukanya lebar-lebar. Dia berlutut di hadapanku lalu kepalanya berada diantara kedua pangkal pahaku. Tiba-tiba lidah hangat sudah menggesek ke dalam vaginaku. Aduh, lidah ayahku menjilati vaginaku. Dia menjilat lebih lihai, lebih lembut. Jilatannya dari bawah ke atas berulang-ulang. Kadang hanya klitorisku saja yang dijilatinya. Dihisapinya, bahkan digigit-gigit kecil. Dijilati lagi. Dijilati lagi. "Oh.. oh.. enak, Yah di situ Yah, enak, nikmat Yah," tanpa sadar, aku tidak malu lagi mendesah jorok begitu di hadapan ayahku. Ayah "memakan" vaginaku cukup lama. Tiba-tiba, aku merasakan nikmat yang sangat dahsyat, yang tak pernah kumiliki sebelumnya.

"Oh.. begini rupanya orgasme, nikmatnya," aku tiba-tiba merasa lemas. Ayah mungkin tahu kalau aku sudah orgasme, maka dihentikannya menjilat lubang kewanitaanku. Kini dia berdiri, tepat di hadapan hidungku, penisnya yang besar itu menengadah. Dengan posisi, ayah berdiri dan aku duduk di sofa, kumasukkan batang ayahku ke mulutku. Kuhisap, kujilat dan kugigit pelan. Kusedot dan kuhisap lagi. Begitu kulakukan berulang-ulang. Ayah ikut menggoyangkan pantatnya, sehingga batangnya terkadang masuk terlalu dalam, sehingga bisa kurasakan kepala penisnya menyentuh kerongkonganku. Aku kembali sangat bergairah merasakan keras dan besarnya batang itu di dalam mulutku. Aku ingin segera ayah memasuki lubangku, tapi aku malu memintanya. Lubangku sudah betul-betul ingin "menelan" batang yang besar dan panjang.

Tiba-tiba ayah menyeruhku berdiri.
"Mau main berdiri ini," pikirku.
Rupanya tidak. Ayah berbaring di sofa dan mengangkatku ke atasnya.
"Masukkan Nit!" ujar Ayah.
Kuraih batang itu lalu kuarahkan ke vaginaku. Ah.. sedikit sakit dan agak susah masuknya, tapi ayah menyodokkan pantatnya ke depan.
"Aduh pelan-pelan, Ayah."
Lalu berhenti sejenak, tapi batang itu sudah tenggelam setengah akibat sodokan ayah tadi. Kugoyang perlahan. Dengan perlahan pula batang itu semakin masuk dan semakin masuk. Ajaibnya semakin masuk, semakin nikmat. Lubang vaginaku betul-betul terasa penuh. Nikmat rasanya. Karena dikuasai nafsu, rasa maluku sudah hilang. Kusetubuhi ayahku dengan rakus. Ekspresi ayahku makin menambah nafsuku. Remasan tangan ayahku di kedua payudaraku semakin menimbulkan rasa nikmat. Kogoyang pantatku dengan irama keras dan cepat.

Tiba-tiba, aku mau orgasme, tapi ayah berkata, "Stop! Kita ganti posisi. Kamu nungging dulu."
"Mau apa ini?" pikirku.
Tiba-tiba kurasakan gesekan kepala penis di permukaan lubangku kemudian.. "Bless.." batang itu masuk ke lubangku. Yang begini belum pernah kurasakan. Anton tak pernah memperlakukanku begini, begitu juga Muklis, lelaki yang mengambil perawanku. Tapi yang begini ini rasanya selangit. Tak terkatakan nikmatnya. Hujaman-hujaman batang itu terasa menggesek seluruh liang kewanitaanku, bahkan hantaman kepala penis itupun terasa membentur dasar vaginaku, yang membuatku merasa semakin nikmat. Kurasakan sodokan ayah makin keras dan makin cepat. Perasaan yang kudapat pun makin lama makin nikmat. Makin nikmat, makin nikmat, dan makin nikmat.

Tiba-tiba, "Auh..oh.. oh..!" kenikmatan itu meladak. Aku orgasme untuk yang kedua kalinya. Hentakan ayah makin cepat saja, tiba-tiba kudengar desahan panjangnya. Seiring dengan itu dicabutnya penisnya dari lubang vaginaku. Dengan gerakan cepat, ayah sudah berada di depanku. Disodorkannya batangnya ke mulutku. Dengan cepat kutangkap, kukulum dan kumaju-mundurkan mulutku dengan cepat. Tiba-tiba kurasakan semburan sperma panas di dalam mulutku. Aku tak peduli. Terus kuhisap dan kuhisap. Sebagian sperma tertelan olehku, sebagian lagi kukeluarkan, lalu jatuh dan meleleh memenuhi daguku. Ayah memelukku dan menciumku, "Nit, kapan-kapan, kalau nggak ada Mama, kita main lagi yah." Aku tak menjawab. Sebagai jawaban, aku menggelayut dalam pelukan ayahku. Yang jelas aku pasti mau. Dengan pacarku aku tak pernah merasakan orgasme. Dengan ayah, sekali main orgasme dua kali. Siapa yang mau menolak?

Sesudah itu asal ada kesempatan, kami melakukannya lagi. Sementara mama masih sering marah, dengan nada tinggi, berusaha mengajarkan disiplin. Biasanya aku diam saja, pura-pura patuh. Padahal suaminya, yang menjadi ayahku itu, sering kugeluti dan kunikmati. Beginilah kisah permainanku dengan ayahku yang pendiam, tetapi sangat pintar di atas ranjang.

Cerita seru Sahabatku Levana

Nama saya Kartika, usia 25 tahun dengan tinggi 168 cm, berat 53 kg, asli orang Bandung, kulit putih bersih. Ukuran payudara saya yang 34C termasuk lumayan besar untuk gadis seusia saya. Pekerjaan saya adalah sebagai manager operasional di sebuah perusahaan terkenal di daerah saya. Saya ingin mengeluarkan gelisah hati yang saya pendam selama ini, mudah-mudahan saya bisa berbagi dengan pembaca sekalian.

Saya di kantor mempunyai sahabat yang namanya Levana, sering saya panggil Ana. Orangya supel, dan mudah bergaul, tingginya 172 cm/53 kg, dengan kulit putih mulus, maklum orang Menado asli, 34B ukuran payudaranya. Saya mempunyai kelainan ini sejak masih gadis pada saat tinggal bersama kakak saya, Mbak Erni namanya.

Kapan-kapan saya ceritakan sejarah lesbian saya, tapi saya juga suka cowok lho sama seperti gadis-gadis lain. Hanya saja hampir tujuh puluh persen saya menyenangi cewek, saya tidak mengerti mengapa saya begini, mungkin suatu saat saya bisa sembuh total ya?! Saya sering jalan bersama Ana kalau ada undangan karena saya belum ada pasangan, banyak sih cowok yang naksir, cuma saya masih enggan saja untuk berpacaran. Saya ingat betul awalnya yaitu pada saat bulan Agustus 2004, sehabis pulang kantor.

*****

"Ka, sini sebentar" panggil Ana pada saya sambil mendekatkan Mercynya.
"Ada apa Na?" tanya saya heran pada Ana.
"Boleh nggak minta tolong?"
"Tolong apa?"
"Itu lho, rumah saya khan sedang direnovasi.."
"Terus?"
"Mmh, boleh numpang nginep nggak di rumahmu?" tanya Ana ragu-ragu.
"Alaa, gitu saja nanya, boleh dong, sekarang?"
"Iya, boleh khan?" tanya Ana sekali lagi meyakinkan dirinya sendiri.
"Udah, nggak usah banyak omong, ayo jalan" perintah saya sambil tersenyum.
"Okey, trim's ya"

Maka setelah Ana mengambil baju sekedarnya, kami berdua meluncur ke rumah saya yang memang agak jauh dari kantor. Rumah saya mempunyai empat kamar, satu kamar untuk tamu dan kamar saya di tengah, saya tinggal sendiri karena orang tua saya tinggal di Surabaya.

"Na, ini kamarmu ya" kata saya sambil menunjukkan sebuah kamar padanya di ujung depan.
"Trim's ya" jawabnya sambil masuk melihat-lihat kamar.
"Kutinggal dulu"
"Ya.." jawabnya sambil lalu.

Saya kemudian menuju kamar untuk mandi dan berganti baju, soalnya gerah sejak tadi. Sedang asyik-asyiknya saya memilih BH, tiba-tiba Ana masuk ke kamar.

"Eh.. Maaf ka, lagi pake baju ya?" katanya kaget melihatku masih memakai celana dalam berwarna merah dan belum mengenakan BH sama sekali.
"Oh Ana, masuk Na, nggak apa-apa kok" jawab saya sambil tersenyum melihatnya yang masih memandangi payudara saya yang termasuk besar dan montok.
"Wah, badanmu seksi juga ya?" ujarnya.
"Tentu saja, habis saya rajin senam sich"
"Oh ya, ada film bagus nich, nonton yuk" ajak Ana sambil menggandeng saya untuk menonton TV di ruang tengah.
"Bentar Na, kuganti baju dulu ya" jawabku sambil memakai BH dan kaos longgar serta celana pendek.
"Kutunggu ya.."
"Ya". Kemudian Levana sudah duduk di depan TV sambil makan camilan, sedang saya masih sibuk membereskan baju yang berserakan.

Malam itu Ana mengenakan daster kuning hingga kelihatan kulit lengannya yang putih mulus, kadang-kadang karena duduk kami yang mepet, Ana dengan tak sengaja menyenggol payudara saya hingga perasaan saya jadi bertambah aneh. Mungkin karena acara TV yang membosankan, saya jadi tak tertarik lagi, saya lebih tertarik memperhatikan Ana saja. Ternyata Ana yang memakai daster itu, sudah tidak memakai BH lagi hingga tonjolan payudaranya kelihatan mencuat ke atas, mungkin karena kami sama-sama perempuan, jadi Ana tidak malu-malu lagi, bahkan kadang-kadang kakinya dinaikkan ke meja hingga bawahan dasternya jadi tersingkap dan memperlihatkan celana dalamnya yang berwarna putih.

Perasaan saya jadi lain hingga saya memutuskan untuk ke kamar dan berganti baju dengan daster tanpa memakai BH dan celana dalam juga, supaya bertambah nyaman kalau berdekatan dengan Levana. Sungguh Levana itu gadis yang cantik seperti artis mandarin. Saya kembali ke ruang tamu dan membawa kaset DVD untuk saya tonton bersama Ana, siapa tahu saja Levana tertarik dengan filmnya dan ingin mmh..

"Na, ganti ama DVD ya?"
"Film apaan tuch?"
"Ini, film romantis dari Jepang, pengin liat nggak?"
"Ya, bolehlah, abis acaranya nggak ada yang menarik sich"
"Okey, duduk dekat sini" pinta saya pada Ana untuk duduk di sofa agar nyaman menonton film itu.

Sebetulnya sich, itu film triple X dari jepang mengenai seorang gadis yang mencintai guru wanitanya lalu mereka bersetubuh dan bercinta dengan gaya yang romantis dengan berbagai macam gaya. Volume TV dan AC saya perbesar hingga Ana mendekat dan mepet dengan saya. Untung rumah sudah sepi karena pembantu sudah pulang semua dan lagi rumah saya besar, jadi volume suara TV yang besar itu tidak kedengaran lagi dari luar.

"Film BF ya?" tanya Ana tanpa menoleh pada saya.
"Tapi bagus lho, untuk pelajaran sex"
"Bagus, sich bagus, tapi saya jadi pengin nich" gumam Ana tak jelas karena napasnya yang makin berat dan diselingi suara orang bercinta dari TV yang makin kencang.
"Gimana kalau kupegang payudaramu" usulku.
"Hush, ngaco kamu Tika, kita ini sama-sama cewek tau" jawabnya sambil monyong, namun itu justru menambah gairah saya semakin tinggi.
"Daripada kamu megang sendiri, hayoo" jawab saya tak mau kalah sambil meraba payudaranya.
"Jangan, Tika.. Jangan.." teriaknya keras karena kaget payudaranya saya pegang. Namun teriakannya tak membuat saya jera, bahkan telinganya yang sensitif saya cium dengan lembut.
"Kurang ajar kamu, sst.." tolaknya lemah dengan mendesis.
"Mmh.."

Pergumulan saya dengan Ana berlangsung seru, hingga beberapa menit Levana masih memberontak, tetapi karena gairahnya sudah naik dan ditambah lagi dengan ciuman dan remasan saya pada daerah sensitifnya, akhirnya Ana menyerah juga. Bahkan dengan sigap membalas mencium bibir saya dengan ganas sambil meraba vagina saya yang sudah mulai basah sejak tadi.

"Sst.. Mmh.. Tunggu.." potong saya menghentikan ciuman dan serangannya Ana.
"Hahh, ada apa Ka?"
"Buka dastermu.." pinta saya untuknya agar membuka daster, sementara saya juga telah membuka dasterku sendiri hingga bugil.
"Wah, susumu besar juga ya?" kata Levana kagum melihat payudara saya yang sudah tegak, sambil juga melepaskan dasternya, bahkan celana dalamnya pun ikut dilepaskan juga hingga kami menjadi sama-sama bugil.

Dan kami pun kembali saling berciuman di sofa tanpa mempedulikan film jepang itu. Saya mengambil inisiatif untuk memulai mencium payudaranya.

"Sst.. Sst.."
"Mmh.. gantian.." rintih Ana karena tidak dapat menahan ciuman dan jilatan lidah saya pada payudaranya.

Maka saya pun berganti posisi dengan Ana yang menjilat payudara saya dengan semangat hingga vagina saya juga ikut dibelai, bahkan jari-jarinya yang lentik keluar masuk ke dalam lubang vagina saya dengan cepat hingga saya mengalami orgasme yang pertama.

"Mmh.. Enak.. Na, cepetan.. Sst.." rintih saya karena tak tahan lagi dengan permainan Ana yang begitu hebat, bahkan Ana sekarang menjilat vagina saya dengan liar hingga beberapa menit, saya semakin mendorong vagina saya ke arah mulutnya yang sedang menghisap bagian dalam.
"Sstss.. pinggirnya.. ssts.. Ya.. yang i.. tu.." rintih saya terpatah-patah.

Tiba-tiba Levana menghentikan permainannya..

"Ada apa Na?"
"Kita coba yang seperti di film, mau khan?" usulnya.
"Boleh saja.." jawab saya senang karena memang senang dengan gaya enam sembilan.

Gaya enam sembilan itu maksudnya saya yang berada di posisi atas menghadap Levana yang berada di posisi bawah dengan saling menjilat vagina masing-masing, bahkan saking enaknya hingga kepala saya terjepit oleh Levana yang rupanya juga telah mengalami orgasme yang pertama. Kami melakukan pergumulan itu di sofa hingga dua jam dan rupanya Levana pun puas atas permainan itu.

"Hahh, lega rasanya.."
"Gimana, enak nggak?"
"Enak juga ya"
"Mau lagi nggak?"
"Mau dong kalau caranya gitu" jawab Ana manja sambil mencium bibir saya gemas.

Malam itu saya dan Levana menghabiskan permainan yang seru itu di kamar, bahkan Ana tak henti-hentinya meremas payudara saya dengan gemas, kadang-kadang saya puaskan Levana dengan alat kelamin pria plastik, tentu saja alatnya yang bisa bergetar hingga itu menambah nikmat percintaan saya dengan Ana. Beberapa ronde kami lalui hingga pagi, juga di kamar mandi.

*****

Keesokannya, seperti biasa saya sudah bersiap ke kantor dengan Levana.

"Ayo Na, udah siap belum?"
"Udah boss, ayo" gandeng Ana mesra sambil mencium bibir saya lembut.
"Hush, nanti dilihat orang lho"
"Iya ya.."

Maka sejak itu, saya dan Levana sering bercinta di rumahnya atau rumah saya, bahkan pernah beberapa kali kami bercinta di dalam mobil. Pada saat hari libur, Levana mengajak saya dan beberapa temannya ikut berdarmawisata ke pulau Bali dan Lombok. Salah satu di antaranya bernama Fifiani yang orang Malang.

"Tika, kamu ikut tour besok nggak?" tanya Levana.
"Tentu dong, yang ke Bali dan Lombok khan?" jawabku.
"Iya dong, eh.. kenalin nich, teman saya" ujar Levana memperkenalkan temannya.
"Fifiani" katanya memperkenalkan diri.
"Kartika Sari" jawab saya sambil menjabat tangannya yang kuning langsat itu.
"Ayo Na, sampai besok ya" jawab Levana menggandeng Fifiani.

Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, saya dengan beberapa teman kantor jadi berwisata ke pulau Bali dan Lombok, juga ada Fifiani dan Levana. Dari obrolan kami, saya ketahui bahwa Fifiani itu umurnya baru 23 tahun, 172 cm/53 cm, dengan payudara 34C, orangnya cukup ramah dan sopan. Levana pernah bercerita pada saya bahwa Fifiani adalah seorang lesbian sejati, sudah pernah beberapa kali pacaran, namun kandas di jalan hingga hatinya hancur lebur.

"Ana, sini bentar Na" panggil saya pada Ana.
"Ada apa Tik"
"Tukeran duduk ya, Fifiani di sini dan tas ini di tempatmu, gimana?" usulku.
"Enak saja, kapan lagi kesempatan gini datang"
"Please dong, khan kamu udah lama kenal ama Fifiani"
"Iya dech, cuman aku boleh liat dong di sebelah.." canda Ana sambil mencolek payudara saya dengan gemas.

Akhirnya dalam bis itu, saya yang mulanya duduk di belakang dengan tas besar entah siapa yang punya, dapat kesempatan duduk dengan Fifiani yang cantik. Levana tak ketinggalan duduk di sebelah dengan tas besar yang sudah saya pindahkan. Fifiani dalam perjalanan itu memakai rok jins hitam dengan kaos merah mudanya, sungguh serasi dengan bentuk tubuhnya yang proporsional.
Rupanya Fifiani atau yang biasa saya panggil dengan Fifi senang curhat dengan saya, bahkan beberapa kali matanya mengarah pada payudara dan bawah rok jins biru saya yang agak naik ke atas, mungkin celana dalam saya yang berwarna putih polos kelihatan, tapi saya cuek saja. Bahkan saya sengaja beberapa kali menyingkap rok saya hingga paha saya yang putih kelihatan dengan jelas hingga Fifi salah tingkah memperhatikan rok saya.

Malam itu kami sudah melewati kota Probolinggo, saya lihat teman-teman sudah pada tidur karena kelelahan, sementara Levana memperhatikan saya sambil mengedipkan matanya beberapa kali. Di bis wisata itu yang duduk di belakang cuma saya, Levana, seorang teman lain dan beberapa barang bawaan yang menumpuk, sementara yang lain duduk di depan, tentu saja ada yang berpasangan.

Sementara itu Fifi rupanya sudah tertidur pulas dengan kepalanya bersandar pada bahu kanan saya hingga perasaan saya jadi tak enak karena napasnya yang harum dan lembut tercium oleh saya, di samping itu posisi duduknya yang sungguh membuat dada saya berdebar-debar karena kakinya menopang pada paha saya. Dengan perlahan saya menyelimutinya hingga kami berdua tertutup oleh selimut hingga cuma tinggal kepala saja yang kelihatan. Tangan kanan Fifi saya pegang dan saya di tempatkan payudara saya. tiba-tiba Fifi membuka matanya dan menatap saya tajam.

"Eh.. Eh.. Fi.. Belum tidur ya?" tanya saya tergagap-gagap karena kaget melihatnya bangun tiba-tiba.
"Iya Mbak, belum ngantuk nich" jawabnya tersenyum ramah dan tidak melepaskan tangannya dari payudara saya, padahal saya sudah horny.
"Jangan panggil Mbak dong, panggil Tika saja ya"
"Iya dech, Tika udah punya pacar belum?" tanyanya.
"Belum, emangnya kenapa?"
"Masak, cewek secantik kamu belum punya pacar!"
"Emang belum, kamu sendiri?"
"Udah pernah sich, cuma sering putus, lebih suka sahabatan ama cewek"
"Oh gitu ya.."
"Ka, boleh nggak Fifi peluk?" pintanya.
"Boleh saja, terserah Fifi dech" gumam saya pelan karena Fifi dengan pelan meremas payudara saya dengan gemas, bahkan sudah masuk dalam BH saya dan meremasnya dengan lembut.
"Sstss.. Fi.." desisku.
"Gimana Ka?" tanya Fifi yang berusaha membuka BH saya.
"Enak Fi.. Sstss.. Saya boleh.." belum sempat Fifi menjawab, tangan saya sudah masuk ke dalam roknya dan membelai vaginanya yang masih memakai celana dalam.
"Sst.. Ka.. Ayo dong.." ajak Fifi menuntun tangan saya untuk masuk lebih dalam dan menyentuh vaginanya.

Akhirnya saya dan Fifi saling meremas payudara dan menyentuh vagina hingga Fifi duluan orgasme karena tak tahan dengan jari-jari saya yang keluar masuk vaginanya dengan cepat. Levana yang dari tadi memperhatikan saya, juga ikut-ikutan merogoh payudaranya sendiri. Belum sempat saya orgasme, bis itu sampai Denpasar, dan kami memesan kamar masing-masing untuk esok paginya kami lanjutkan dengan pesiar keliling pulau Bali.

"Gimana nich Fi, saya khan belum.."
"Tenang saja Ka, gimana kalau kita tidur berdua?" jawab Fifi santai karena tahu bahwa saya belum puas.
"Iya dech"
"Saya boleh ikut nggak, boleh ya.." rengek Levana tiba-tiba mendekati kami.
"Boleh saja, gimana Fi, Ana boleh ikut nggak!?" tanya saya pada Fifi.
"Okey, pasti tambah asyik ya" jawabnya sambil mengedipkan mata pada saya.

Jadilah saya memesan kamar bertiga dan setelah kami diberi pengarahan dari pemandu wisata agar bangun jam 08.00, maka saya langsung masuk kamar. Setibanya di kamar dan menaruh tas, saya peluk Fifi dan menghimpitnya ke tembok hingga payudara saya yang montok menempel ketat pada payudaranya.

"Udah nggak sabar nich yee.." goda Ana sambil memeluk saya juga dari belakang dan langsung mencium leher saya dengan ganas.
"Fi.. Kamu.."
"Udah ka, ayo kita terusin yang tadi" jawab Fifi sambil melumat bibir saya dengan ganas.
"Mmh.."

Fifi yang mencium saya dengan ganas itu juga tak kalah gesitnya mencoba kembali membuka BH saya yang akhirnya terlepas juga ke bawah, tangannya dengan terampil kembali meremas-remas payudara saya, di samping itu Ana berusaha melepas rok jins dan celana dalam saya hingga saya yang pertama-tama bugil duluan. Entah siapa yang memulai duluan, tahu-tahu saya sudah berada di tempat tidur dengan payudara saya yang dijilati Fifi dengan lincah, bahkan Ana pun juga sudah bugil dan sekarang sedang menjilati vagina saya dengan lahap.

"Sst.. Uuh.. Mmh.." rintih saya keras karena tak tahan diperlakukan oleh dua orang wanita cantik yang menjilati bagian sensitif saya.

Beberapa menit kemudian saya pun tak tahan dan mengalami orgasme yang pertama. Fifi juga minta ganti posisi di bawah untuk kami kerjai yang saya bagi tugas dengan Ana, saya bagian menjilat vaginanya dan Ana bagian payudara dan bibirnya. Beberapa menit permainan itu kami lanjutkan dengan cara saling berganti posisi.

"Ka.. Sstss.. Geli.. Ahh.. Ssts"
"Ssts.. Mmh.. Jilat yang itu.. Ya.." rintih Fifi yang sedang berjongkok karena vaginanya dijilat oleh Ana.
"Sstss.. Go.. Yang.. Na.. Sstss.." desis saya meminta Ana yang vaginanya sedang saya gesek-gesekkan dengan vagina saya untuk menggoyang pinggulnya lebih keras.

Permainan demi permainan kami lewati hingga akhirnya saya meminta Fifi memasang penis plastik yang bisa bergetar itu pada vaginanya. Bentuknya seperti celana dalam yang di tengahnya ada penis plastik.

"Sstss.. Pelan.. Fi.. Argh.." jerit saya karena Fifi memasukkan penis buatan itu terlalu cepat pada vagina saya.
"Mmh.. Gimana Ka, enak..?"
"Ssts.. Ya, ayo.." perintah saya setelah Fifi memasukkan penis plastik itu dan mendorongnya keluar masuk hingga saya merasa nikmat dan menjepit penis plastik itu dengan keras hingga dinding vagina saya berdenyut-denyut.
"Sstt.. Ayo.. Fi.. Lebih cepat lagi.." pintaku.
"Sstss.. Mmh.. Sstss.. Argkk.." jerit saya melengking karena cepatnya Fifi memasukkan penis plastik itu hingga saya orgasme berulang-ulang yang ditambah lagi rangsangan pada payudara saya yang dijilat dan dikulum oleh Levana sambil tangannya tak henti-hentinya juga meremas payudara Fifi. Vagina saya mengeluarkan lendir berwarna putih, sungguh banyak sekali.
"Lega rasanya, nikmat juga pake penis buatan.."
"Enak nggak rasanya Ka?" tanya Levana pada saya dengan mimik heran.
"Lho, kamu belum pernah toh An?" tanyaku.
"Belum tuch, biasanya sich cuma ama cewek saja"
"Nikmat kok rasanya, saya sering pake kalau lagi nggak ada pasangan" jawab Fifi sambil membersihkan penis plastik itu untuk kami gunakan lagi.
"Gimana An, kamu coba dech, sini biar kucobain buat kamu.." bujukku pada Levana yang kelihatan masih ingin mencoba penis buatan ini selain gaya enam sembilan favorit Levana dan saya.

Malam itu kami bertiga menguras habis energi untuk bercinta hingga ke kamar mandi, bahkan dengan senangnya saya bisa memandikan Fifi yang paling muda di antara kami bertiga.

"Pelan-pelan ya masukinnya" pinta Levana cemas.
"Tenang saja, nggak sakit kok" kata saya meyakinkan Levana yang melihat saya sudah memasang kan celana dalam berpenis itu di kemaluan saya.

Permukaan penis plastik itu ada bintik-bintiknya yang tidak beraturan dan saya juga tidak begitu mengerti apa manfaatnya, mungkin saja untuk menambah rasa nikmat jika bersentuhan dengan dinding vagina.

"Sst.. Mmh.. Sstss.. Aduh.." jerit Ana pelan karena penis itu terpeleset keluar bibir vaginanya.

Akhirnya seluruh penis plastik itu masuk ke dalam vagina Ana yang masih sempit itu, mungkin Levana masih perawan karena beberapa saat kemudian sedikit keluar darah. Memang selama saya bersahabat dengan Levana, Ana jarang bergaul dengan teman pria, kebanyakan teman wanita seperti saya dan yang lainnya. Sedangkan Fifi pergaulannya luas termasuk dengan pria hingga vagina Fifi sudah agak melebar dibandingkan dengan vagina saya dan Levana.

"Na, kamu masih perawan ya?" tanya saya serius pada Levana.
"Eh.. Iya.. Berarti kamu yang pertama melakukannya, Sayang" jawabnya mesra sambil mencium saya dengan lembut.
"Mmh.."

Saya berusaha maju mundur mengikuti aksi seperti yang di film BF, para pria memajumundurkan penisnya ke dalam vagina si wanita. Sambil memasukkan penis buatan, saya meremas-remas payudara Ana.

"Sstss.. Ter.. Us.. Sstss.."
"Sst.. Fi.. Ayo.." ajak Ana sambil mengajak Fifi untuk berciuman dengan saya.
"Sstss.. Sstss.. Mmh.."

Sambil berciuman dengan Fifi, saya memasukkan penis plastik itu keluar masuk dengan irama yang teratur hingga pantat Levana bergoyang pelan. Rupanya Ana menikmati permainan penis plastik itu hingga meminta saya agar cepat menaikkan tempo keluar masuknya penis plastik itu dalam vaginanya.

"Ayo fi, isap puting saya"
"Iya, Ka.."
"Sstss.. Mmh.." rintih saya agak keras karena Fifi bukan saja mengisap puting saya, bahkan menggigit puting saya dengan gemas hingga saya merasa nikmat dan mendorong penis plastik itu semakin cepat saja.
"Sstss.. Sstss.. Sstss.. Bagi.. An.. Sstss.. Itu.." desis Ana mengarahkan saya untuk menyodokkan penis itu pada bagian lubang vaginanya.

Permainan dengan Ana membutuhkan waktu yang lama karena ia menahan irama birahinya hingga pinggul saya pegal-pegal, kemudian setelah saya lelah, saya menyuruh Fifi untuk ganti menindih Levana dengan penis plastik itu.

"Fi, gantian ya, saya capek nich"
"Ya, ayo sini" jawab Fifi sambil memasang penis itu dan langsung memasukkannya dalam vagina Levana dan mereka pun bermain dengan bernafsu hingga Fifi melahap bibir Ana dengan ganas.

Saya pun menyelipkan tangan di antara payudara mereka dan meremas-remasnya supaya Ana cepat orgasme. Dan akhirnya Levana melepaskan ciuman Fifi dan memintanya agar lebih cepat.

"Sstss.. Sstss.. Sstss.. Ayo.. Fi.. Cepetan.."
"Saya.. Sstss.. Mau.. Keluar.. Sstss.." rintih Levana hingga Fifi semakin mendorong dengan cepat penis plastik itu hingga Ana bergerak-gerak liar dan menjepit Fifi dengan kuat.
"Sstss.. Arghh.." jerit Levana melengking karena cairan putihnya akhirnya keluar juga untuk terakhir kalinya.

*****

Pada jam empat pagi baru kami tidur bersama, tentu saja dengan keadaan bugil dan kepuasan yang tiada tara. Dan kembali tour kami lanjutkan untuk wisata ke pantai Sanur dan pantai Kuta.

Terima kasih pada Bapak Hartono atas tournya, juga sahabatku Fifi dan Levana atas pengalamannya bersama saya, kasih komentar ya atas cerita saya ini, kalau ada yang kurang, konfirmasikan saja ke email saya.

Pembaca cowok dan cewek bisa curhat atau kenalan pada saya melalui email saya atau memberikan tanggapannya mengenai kelainan saya ini, asalkan disertai foto, terutama bagi cewek-cewek baik yang seksi maupun tidak seksi hi.. hi.. hi.., pasti kubalas dengan foto bugil saya, eh maksud saya foto seksi saya dan kalau ada yang mengajak jalan bersama, saya ingin ikut dong.

Jika tanpa foto, maaf saja, saya tidak bisa membalas surat Anda. Dan buat sohib saya Fifi, Vita, Samantha, Aulia, Febri, dan Levana, salam sayang selalu dan kangen, jangan lupa ya baca cerita saya ini dan kapan nih kita mandi bareng lagi, pasti asyik deh. Sekarang saya lagi fitness untuk mengencangkan payudara lho.

Friday 27 January 2012

Cerita seru Menutup Layar

Kino terus menciumi leher jenjang yang harum dan kini agak basah oleh keringat. Ia mengecup-mengembus, menggigit kecil, menghela nafas menghirup semerbak tubuh wanita yang menggairahkan ini. Rasa terimakasih memicu semangat dan birahinya, ingin rasanya ia mendekap dan melumat tubuh hangat yang ditindihnya ini. Mba Rien tertawa kecil menerima perlakuan Kino, "Stop ....," ucapnya, tetapi kata itu seperti kehilangan makna. Dan Kino tak mau berhenti, malah semakin bersemangat menelusuri urat samar kebiruan di leher yang bak pualam itu. Kino naik menciumi dagu Mba Rien, menyusur bawah rahangnya, lalu turun lagi sampai ke pangkal leher. Tangannya dengan cepat menyibak kaos wanita itu, sekaligus membuka beha coklat di bawahnya, menampakkan dada ranum yang bergerak naik-turun dengan cepatnya."Ah, Kino .... Ohhh," akhirnya Mba Rien hanya bisa mendesah, dan perlahan tangannya yang tenggelam di rambut Kino kini justru menekan kepala pemuda itu. Justru mendorongnya agak lebih ke bawah, sehingga bibir Kino kini menelusuri lembah indah di antara kedua payudara yang membusung-mengembung-menggairahkan. Harum sekali lembah itu, lembut dan bergetar menyembunyikan jantung yang berdebar kencang. Kino semakin berani, mengangkat mukanya menggigit daging yang membola halus-licin itu sehingga Mba Rien menggelinjang dan menjerit kecil, "Oh, .... jangan Kino..." tapi tangannya tak juga sanggup mendorong kepala Kino lepas dari dadanya. Mba Rien hanya bisa berkata tak bisa berbuat. Sebuah penolakan yang tak punya daya, sebuah penyerahan yang tak terelakkan. Apalagi ketika mulut pemuda yang menghembus-hembuskan nafas panas itu kini tiba di satu puncak payudaranya. "Oh ... jangan itu,... Kino, jangan itu... ", erang Mba Rien, tetapi terlambat sudah! Dengan cepat Kino menyedot puting kenyal yang berdiri menantang itu. Mba Rien menggeliat, melepaskan tangannya dari kepala Kino, meremas-remas seprai seperti hendak mencari kekuatan dari situ. Dunia nyata seperti menghilang dari pandangan Rien yang kini terpejam menahan nikmat tak terperi yang menyerbu tubuhnya. Satu tangannya bergerak ke atas, menggenggam tiang ranjang seakan kini seluruh hidupnya bergantung di sana. Tak ada lagi pikiran bimbang, atau takut, atau kuatir di kepalanya. Semuanya hilang berganti kenikmatan belaka, menjalar-jalar seperti api keluar dari mulut Kino yang kini mengemut-emut puting susunya. Kino pun semakin bersemangat, menyedot kuat-kuat dan mengulum-ulum daging kecil kenyal yang terasa aneh di mulutnya itu. Beginikah seorang bayi merasakan susu ibunya? pikir Kino sambil membayangkan betapa rakusnya dulu ketika ia masih bayi!Rien merasakan kewanitaannya berdenyut lagi, bagai bangkit dari istirahat, setelah tak lebih dari 10 menit lalu bergeletar terlanda orgasme. Kini kedua kakinya membuka lebih lebar lagi, dan tak sadar ia menarik satu tangan Kino untuk kembali ke bawah sana. Kino pun tak perlu mendapat tuntunan lagi sekarang. Tiba-tiba saja ia sudah menjadi piawai. Tangannya dengan cepat melakukan lagi apa yang baru saja ia pelajari dalam permainan serba menggairahkan ini. Tangan itu tahu harus berbuat apa di ladang subur yang selalu menjanjikan kehangatan itu. Penuh kepastian, tangan pemuda itu kini mengusap-usap, menerobos-menelusup, meraih-raih. Rien membuka pahanya semakin lebar, semakin menguak, menyediakan keleluasaan kepada Kino."Ohhh, Kino.... Ohhh, aku mau .... Aaah, aku ingin ....," Mba Rien seperti kehabisan kata-kata, "Kino,... aku,... ahhh.." Apa yang hendak disampaikannya? tanya Kino dalam hati, tetapi ia tidak berani bertanya. Mulutnya tak hendak lepas dari mainan baru di puncak payudara yang menggelorakan itu!Dengan satu jari tengahnya, Kino membuka-menguak sepasang bibir di bawah sana. Telah menebal, bibir-bibir itu. Basah dan licin pula. Hangat dan berdenyut juga. Jari Kino seperti menari-nari, melenggak-lenggok di taman sutera yang halus menggelincirkan. Terkadang, jari itu menelusup jauh ke bawah dan sampai di sebuah liang sempit yang berdenyut-denyut. Rien tersentak ketika disentuh ujung jari Kino di bagian yang sangat peka itu. Tubuh bagian bawahnya tiba-tiba terangkat meninggalkan kasur, dan akibat gerakan itu jari Kino akhirnya melesak masuk, tergelincir cepat sampai tenggelam sepanjang satu buku jari. Ada sedikit lengket dan panas dan basah terasa oleh Kino di ujung jari yang dilingkari sebentuk otot liat-kenyal yang bergerak-gerak seperti mulut kecil. Dan Rien pun merintih pelan, ".... teruskan ... masukkan .... Oh, Kino... teruskan...". Dan Kino mendorong lebih dalam, merasakan jarinya kini menelusuri dinding licin bak sutra yang basah. Dan Rien semakin keras mengerang lalu memutar pinggulnya dalam gerakan asal-asalan. Kino menarik sedikit jarinya, tapi tangan Mba Rien mendorongnya kembali. Kino menarik lagi, tetapi didorong lagi. Ditarik-didorong. Ditarik-didorong. Berkali-kali, semakin lama semakin cepat, seperti kereta api sedang mengambil ancang untuk melaju. Rien menutup mulut dengan punggung tangannya, menahan sebuah teriakan-teriakan kecil yang terputus-putus... ah ... ah ... ah. Lalu ia menggelepar kuat sekali, dan tangan Kino lepas dari selangkangannya, seperti dilemparkan oleh kekuatan gaib. Kino sendiri terkejut sekali dibuatnya. Dan Mba Rien tidak bisa diajak bicara, karena wanita itu menggeliat, mengguling ke samping, lalu tertelungkup dengan tubuh berguncang-guncang. Ranjang berderit-derit. Kino terpana. Astaga, apa yang telah kulakukan?Kino hendak bangkit meninggalkan tempat tidur, tetapi tiba-tiba Mba Rien telah berbalik. Wajahnya agak memerah dan bibirnya yang menggairahkan itu seperti tomat matang. Matanya setengah tertutup, memandang sayu, tetapi penuh dengan sinar yang tak bisa digambarkan oleh kata-kata. Kino setengah terduduk di pinggir ranjang, tak pasti apa yang harus dilakukannya. Lagipula, kini ia kuatir ada orang yang mendengar kegaduhan di kamar ini, walaupun ia juga tahu paviliun tempat Mba Rien indekos terpisah oleh halaman cukup luas dari rumah utama.Mba Rien tiba-tiba tertawa kecil, "Aduh, Kino... lihat apa yang telah kamu lakukan," ucapnya masih agak terengah. Pakaiannya semrawut, behanya sudah terlepas sama sekali, dan roknya tersingkap lebar."Maaf, Mba ...," ucap Kino pelan. Ia sungguh-sungguh bermaksud minta maaf. "Hei... kenapa harus minta maaf?", ucap Mba Rien ringan, lalu ia bangkit dan merapikan pakaiannya, tetapi tidak memakai kembali beha maupun celana dalamnya yang kini entah di mana. "Kamu memberikan lebih dari yang aku minta, dan tak perlu minta maaf untuk itu ..." lanjut Mba Rien lagi dengan suara lembut, hampir berbisik.Mereka duduk berdua di pinggir ranjang. Mba Rien memeluk bahu Kino, lalu mencium leher Kino sedikit di bawah kuping. Kino menggeliat kegelian, lalu balas memeluk pinggang Mba Rien. Kemudian ia mendengar wanita itu berbisik dengan nafasnya yang hangat menyentuh tengkuk Kino, "..sekarang giliran kamu, yaa..."Tangan Mba Rien cepat sekali telah membuka resleting celana Kino yang diam saja tak tahu harus berbuat apa. Lalu dengan lembut tetapi agak memaksa, Mba Rien mendorong tubuh pemuda itu sehingga telentang di kasur, sementara ia sendiri tetap duduk dan terus membuka resleting sampai lepas sama sekali. Lalu jari-jarinya yang letik mulai mengelus-elus di atas celana dalam Kino yang telah menggembung dan agak basah di sana-sini. Ah, Kino pun hanya bisa memejamkan mata, membiarkan apa pun yang akan terjadi berikutnya. Ia pasrah saja.Dengan tangan yang lain Mba Rien membuka kancing baju Kino, satu-persatu dengan ketrampilan dan ketenangannya. Tak lama kemudian, dada Kino yang bidang telah terbuka sama sekali. Lalu Mba Rien membungkukan badannya sedikit, dan .... Kino menggeliat kegelian ketika bibir basah wanita itu tiba di putingnya yang kecil. Rasanya seperti disengat kenikmatan dan Kino mengerang pelan. Mba Rien bahkan lalu mengulum dan menyedot, sehingga Kino tak lagi hanya mengerang tetapi juga merintih. Enak sekali, ternyata jika seseorang bermain-main dengan puting susumu! pikirnya dalam hati.Sementara itu jemari-jemari Mba Rien yang lain telah masuk menyelinap ke balik celana dalam Kino, dan menemukan kejantanan pemuda itu tegak-keras-panas. Jemari itu lalu meremas pelan, mengelus dan menelusur ke atas ke bawah. Kino memejamkan matanya erat-erat, seakan memastikan bahwa ini adalah sebuah mimpi yang nyata, sebuah kenyataan yang dimimpikannya. Tubuhnya meregang merasakan jemari itu melakukan sesuatu yang menakjubkan, membuat seluruh daerah di bawah perutnya terasa tiga kali lebih besar dari biasanya.Mulut Rien terus mengulum puting Kino yang kecil, tangannya terus menggosok-meremas. Dua sumber kenikmatan saling bertumbukan di tubuh Kino, menyebabkan pemuda ini bergetar hebat. Sebuah desakan gairah mulai terkumpul di tubuh bagian bawahnya, membuat kedua pahanya terasa berat. Seluruh otot tubuhnya seperti sedang bersiap-siap meledak, seperti seorang lifter bersiap-siap mengangkat barbel, seperti kuda yang berancang-ancang melompat, seperti burung garuda yang bersiap mengudara.Gerakan Rien makin cepat, dan sedotan mulutnya makin kuat memilin-milin puting Kino yang tentu saja tak pernah lebih besar dari semula. Tidak seperti puting payudaranya Mba Rien. Tangan Mba Rien naik-turun dengan bergairah, begitu cepat sehingga hanya tampak dalam bayang-bayang. Kino mengerang panjang ketika akhirnya ia tak bisa lagi menahan serbuan puncak birahi menerjang mencari jalan keluar. Apalagi kemudian satu tangan Mba Rien yang masih bebas, ikut bermain di bawah sana, memegangi kantong di bawah kelaki-lakian Kino yang seperti mengeras-membatu. Tangan Mba Rien meremas pelan kantong kenyal itu. Pelan saja, tetapi sudah cukup membuat Kino menggeramkan penyerahannya, mengerangkan kepasrahannya, ketika dengan deras cairan hangat kental lepas dari tempat persembunyiannya, menghambur keluar.Langit-langit kamar Mba Rien memudar di mata Kino. Ranjang Mba Rien terasa seperti awan yang membumbung membawa tubuhnya melayang. Jemari dan tangan Mba Rien masih meremas menggosok. Mulutnya yang basah masih mengulum-menyedot. Dunia nyata seakan berkeping-keping. Meledak mengamburkan pijar-pijar pelangi di kepala Kino. Sungguh menakjubkan!Lalu sepi bagai turun dari langit. Kino tergeletak lemas. Mba Rien tertelungkup di sebelahnya, dengan kepala tersandar ke dadanya. Nafas mereka berdua masih memburu. Samar-samar terdengar detik jam dinding. Malam minggu sedang menuju titik kulminasi.Setelah segalanya tenang, Kino bangkit dan merapikan pakaiannya. Mba Rien keluar menuju kamar mandi. Segalanya seperti sediakala, kecuali ranjang yang berantakan tak keruan. Dengan cekatan Kino membereskan seprai dan mengembalikan bantal ke tempatnya. Ia menemukan beha dan celana dalam Mba Rien, yang segera dilipatnya baik-baik dan diletakkan di kursi meja rias. Setelah menghela nafas dalam-dalam, ia melangkah keluar, ke ruang tamu. Kosong tak ada siapa-siapa. Lalu Mba Rien muncul dari kamar mandi. Wajahnya penuh senyum seperti biasanya. Lalu mereka duduk berhadap-hadapan. Lama tidak berkata-kata, cuma saling menukar senyum. Ketika akhirnya Mba Rien membuka percakapan, bahan pembicaraan terasa hambar, dan wanita yang wajahnya bersinar tetapi kelihatan letih itu pun berkali-kali menguap tak mampu mengusir kantuk.Pukul 10 lewat seperempat, Kino akhirnya berpamit. Mba Rien berdiri di pintu depan memandangnya pergi. Kino tak bisa melihat wajahnya, karena terlindung bayangan pintu, tetapi ia tahu Mba Rien tersenyum. Maka ia pun tersenyum sekali lagi, lalu berbalik menuntun sepedanya ke jalan raya. Gelap malam segera menyambutnya, merangkulnya dengan embun basah yang segar. Entah kenapa, Kino merasa seperti seorang ksatria pulang dari medan pertempuran!

Cerita seru Balada Para Istri

Dikampungku aku biasa dipanggil Billy. Maklum postur tubuh yang tinggi besar dan wajah mirip londo membuat orang kampung mengidentikanku dengan turunan londo.

Sejak umur 15 tahun, aku dianggap orang kampungku sebagai anak yang punya kelebihan supranatural. Tak heran sejak umur segitu aku sering bergelut dengan hal yang sifatnya mistis, meskipun sebenarnya aku sendiri tak yakin aku bisa. Misalnya aku sering dimintai tolong sembuhkan orang kampung yang sakit perut, sakit bisul, muntah-muntah, atau sakit ringan lainnya. Dan entah kenapa tiap obat yang aku anjurkan pada mereka kok kebetulan menyembuhkan penyakitnya.

Sekarang ini usiaku 24 tahun, sedang kuliah di kota M dan tetap saja banyak yang percaya aku mampu dalam hal supranatural. Dikota M aku juga terkenal bisa menyembuhkan banyak penyakit, malah urusan seks yang dingin atau tak kunjung dapat momongan bisa langsung kontak aku di kota itu.

Suatu siang sehabis kuliah, aku kedatangan pasien wanita Susi namanya. Susi ini tahu alamatku diantar Retno, teman sekampusku yang dulu pernah kutolong waktu sakit malaria kronis dan sembuh.
"Tolong saya Mas Billy, suami saya kok suka jajan di luar dan nggak perhatian lagi sama keluarga," kata wanita beranak satu itu padaku. Sebenarnya aku bingung juga mau bilang apa, tapi karena dia memelas begitu aku jadi nggak tega. Susi aku suruh masuk kamar praktekku, sedangkan Retno tunggu diruang tamu rumah kontrakanku.
"Begini Mbak Susi, untuk menolong orang saya harus tahu ukuran baju, celana dan sepatu orang itu. Jadi berapa ukuran Mbak," kataku setelah kami duduk berhadapan dihalangi meja kerjaku.

Susi yang bertubuh agak pendek tapi seksi itu jadi bingung dengan pertanyaanku.
"Ehmm, anu Mas, berapa ya ukurannya.. tapi baju M celana 28 dan sepatu 37 mungkin pas Mas," jawabnya masih bingung juga.
"Oke-oke kalau nggak tahu pasti biar tak ukurkan ya," kataku sambil mengambil penggaris ukur dari kain.
Seperti penjahit baju yang terima pesanan aku mulai mengukur bagian tubuh Susi mulai bahu, dada, perut, pinggang, pinggul, plus kaki.
"Nah sekarang sudah ada ukuran pastinya, saya bisa bantu masalah Mbak," kataku, yang kelihatan membuat Susi berbinar karena merasa akan tertolong.

Susi pun mulai menceritakan perilaku Anto, suaminya. Sejak menikah dan punya anak, Anto masih setia, tapi beberapa bulan ini Anto mulai suka keluyuran dan suka jajan pada wanita lain.
"Saya jadi bingung Mas, kalo saya marah dia malah ancam mau cerai. Saya takut kalau dicerai Mas, bagaimana nasib anak saya," keluh wanita berkulit sawo matang itu.
"Ya sudah, itu masalah sepele kok Mbak. Nanti Mbak saya kasih susuk pemikat sukma supaya suaminya nempel terus kayak perangko," ucapku sekenanya. Kemudian aku menyuruh Susi menanggalkan seluruh pakaiannya termasuk pakaian dalamnya dan hanya menggunakan sarung bermotif kembang yang telah kusediakan untuknya.

Meski sempat ragu tapi Susi melakukannya juga. Sementara aku menyiapkan berbagai perlengkapanku, mulai kembang dan air dalam baskom, serta jarum susuk yang memang sudah lengkap tersedia di ruang praktekku.
"Nah sekarang Mbak berbaring di dipan itu ya, dan jangan banyak bergerak. Pokoknya konsentrasi pikiran pada suami Mbak dan sebut terus namanya," perintahku pada Susi. Bagai dicocok hidung Susi menurut saja dan segera berbaring di dipan dengan mata terpejam.

Untuk sesaat aku memperhatikan tubuh Susi dari kursi praktekku. Wow, boleh juga tubuhnya, bahenol walau agak mini. Aku menyiapkan kembang dalam baskom berisi air dan mendekati Susi yang terbaring di dipan kayu.
"Sabar ya Mbak, sebentar lagi kita mulai pengobatannya," kataku meyakinkan Susi.
Susi masih terpejam ketika kucipratkan air dan kembang yang kusiapkan tadi ke sekujur tubuhnya. Sengaja aku merapalkan mantra yang tak jelas dengan mulut komat-kamit persis dukun sungguhan.

Lalu setangkai kembang ditanganku kuusap-usapkan di wajah Susi dengan irama usapan yang searah jarum jam. Kulihat reaksi diwajah Susi menahan geli ketika kembang itu mulai kuusapkan di bagian leher dan terus turun kepangkal dadanya yang terbungkus sarung.
"Nah sekarang buka matanya Mbak," perintahku.
"Sudah selesai belum Mas Billy?," tanyanya tetap terbaring di dipan.
"Oh ya belum toh. Bagaimana Mbak ini maunya cepat, ini kan proses pasang susuk Mbak nggak boleh buru-buru. Kalau nggak cocok bisa fatal akibatnya," ujarku sekenanya.
"Terus sekarang apalagi Mas?," Susi makin penasaran.
"Maaf Mbak ya, sekarang Mbak turunkan sarung itu sebatas perut supaya saya bisa mendeteksi aliran darah Mbak. Biar susuknya tepat pasangnya gitu loh," kataku. Susi sempat melotot heran bercampur jengah, tetapi dia nurut juga menurunkan sarung yang membungkus tubuhnya sampai keperut dengan wajah malu-malu. Wah, boleh juga payudara wanita ini, kalau dikasih Bra kira-kira ukuran 36B lah, lumayan masih padat walau sudah beranak satu. Susi kembali terpejam, dan aku kembali mengambil kembang dan mencipratkan airnya ke arah buah dada dan perut Susi. Dengan kembang yang sama aku usap-usapkan di daerah dada dan perut Susi. Tubuh Susi mengelinjang kegelian waktu usapanku mulai menyentuh puting susunya.

"Oke.. boleh buka matanya Mbak," kataku setelah puas mengusap susu Susi dengan kembang.
"Wah, Mas kok lama sekali sih prosesnya," protes Susi, tapi tetap terbaring diranjang.
"Gimana ya jelaskannya Mbak, soalnya aliran darah Mbak aneh sih. Ini saja masih perlu deteksi lagi supaya ketahuan aliran darah aslinya. Tapi kalau Mbak mau stop ya terserah, saya tak bisa bantu lagi, gimana?," balasku dengan mimik serius.
"Iya deh saya pasrah, tapi sekarang apa lagi?," tanya Susi lagi.
"Maaf lagi ya Mbak, sekarang jalan satu-satunya supaya aliran darah Mbak kelihatan, Mbak harus tangalkan sarung itu. Telanjang bulat Mbak," pintaku dengan nada yang kubuat serius.
Meski kaget dan hendak protes, tapi Susi akhirnya nurut juga. Sarung yang dikenakannya ditanggalkan dan dibiarkan luruh kelantai, dan ia kembali berbaring di dipan kayu dengan mata terpejam.

Sekarang aku yang jadi bingung dan blingsatan melihat sesosok wanita bugil tanpa busana dihadapanku. Tubuh Susi benar-benar menggairahkan, rasanya bodoh betul si Anto, suaminya itu, kok nggak bersyukur punya istri semolek Susi ini.

Aku kembali menghampiri Susi dengan kembang dan air di baskom. Perlahan kembali kuusap-usapkan kembang itu dari wajah, leher, dada, dan perut Susi. Usapan-usapan erotis di bagian atas tubuh Susi membuat wanita itu menggelinjang menahan geli. Napas Susi pun mulai cepat memburu, biasanya dalam fase seperti itu, seorang wanita sedang dilanda gejolak yang mengarah birahi.

Usapanku mulai merambat turun ke arah paha, tapi belum menuju selangkangan Susi.
"Nah ketemu Mbak, sabar ya. Sudah ketemu nih tempat pasang susuknya," kataku memberi harapan.
Kembang di tanganku kembali kuusapkan di daerah paha bagian dalam dan sesekali naik menyentuh bibir vagina Susi. Gerakan mengusap seperti itu kulakukan berulang ulang di daerah yang sama, sampai akhirnya jarak kedua kaki Susi mulai merenggang. Bukan main gundukan kemaluan Susi, bulunya jarang dan bibir vaginanya kelihatan masih ranum. Aku sendiri kehilangan konsentrasi gara-gara melihat pemandangan itu. Kini kembang ditanganku aku buang dalam baskom, dan usapan di tubuh Susi kugantikan dengan tangan kananku. Susi masih terpejam dan napasnya semakin tak beraturan ketika sentuhan tanganku menjelar di atas tubuh bugilnya.
"Uhh Mas, dimana sih tempat pasang susuknya? Saya nggak kuat begini terus," Susi bertanya dengan mata tetap terpejam.
"Iya Mbak, tenang ya, ini sudah ketemu," kataku sambil menghentikan sentuhan tangan tepat di selangkangannya. Tanganku mulai memainkan bibir vagina Susi dengan tempo yang teratur dan ritme naik turun. Susi kelihatan sudah terpengaruh, nafsunya gesekan tanganku di bibir vaginanya diimbangi gerakan pinggulnya searah gerakan tanganku.
"Ohh.. geli sekali Mas disitu," Susi mulai menceracau sendiri, napasnya semakin tak beraturan.

Aku sendiri sudah tak bisa menahan nafsuku, perlahan aku buka kedua kakinya semakin lebar sehingga gundukan vaginanya terlihat makin jelas. Cairan vagina Susi semakin banjir dan tubuhnya mengejang kecil saat jemari tangan kananku menjepit-jepit klitorisnya. Wajah Susi benar-benar enak dilihat dalam keadaan seperti itu, mata terpejam dan bibir saling memaggut menahan geli dan nikmat gesekan jariku di vaginanya.
"Oke Mbak sebentar lagi ya, sekarang Mbak tahan ya saya akan pasang susuknya," pintaku.
Jari tengahku kumasukkan perlahan ke liang vagina Susi, lalu kutarik lagi keluar secara perlahan pula. Itu kulakukan berkali-kali dan terus-menerus.
"Engghh.. isshhtt.. ," Susi melenguh, pinggulnya semakin liar bergoyang dan berputar.

Susi sudah dalam kendaliku secara total, posisi tanganku di vagina Susi kini kuganti dengan jilatan lidahku di daerah vital Susi itu. Kami sudah sama sama di atas dipan itu, hanya bedanya aku masih lengkap berbusana, sedangkan Susi bugil total. Reslueting celanaku kubuka, sejak tadi aku memang sengaja tak pakai CD sehingga penisku langsung meloncat keluar begitu kancing dan reslueting celana kubuka.
"Usshh Mas.., saya nggak taahann lagi," kaki Susi menjepit kepalaku di selangkangannya, pinggulnya naik turun mendesak-desak mulutku yang menjilati klitorisnya.

Aku bangkit mengambil posisi tepat diatas tubuhnya, bibir Susi yang menceracau langsung kusumpal dengan bibirku. Saat ini Susi terbelalak membuka matanya, tapi belum sempat bereaksi apa-apa, penisku yang sudah tegang dan tepat di pinggir bibir vagina Susi segera aku benamkan keliang nikmat Susi yang sudah licin basah. Bless..!
"Nghh duhh Mass, ohh..," Susi mendesis saat penisku menembus bibir vaginanya dan masuk ke liang nikmatnya. Susi tak menolak kehadiran penisku di vaginanya. Aku berhasil menyetubuhi pasienku lagi.
"Tahan Mbak ya.. memang begini aturan prosesnya. Yang penting rumah tangga Mbak selamat ya," ujarku sambil menggenjot pinggulku di atas tubuh Susi. Tubuh Susi yang cukup mungil bagiku yang jangkung membuat aku dengan leluasa menggenjotnya dengan posisi konvensional. Penisku berkali-kali menghujam vagina Susi membuat wajah Susi semakin terlihat ayu menahan kenikmatan dari penisku.

Sampai belasan menit berlalu dengan posisi itu, akhirnya kurasakan tubuh Susi mengejang sesaat dan terasa pula denyutan kontraksi otot vaginanya pada batang penisku yang masih tegang.
"Ouhhss.. eehgghh," Susi rupanya sudah sampai klimaks, tubuhnya semakin tegang dan pinggulnya mendesak naik seperti ingin terus merasakan sensasi orgasmenya. Beberapa detik kemudian, aku pun merasa aliran darahku mengumpul di bagian pangkal penisku, dan croot.. croot.., kumuntahkan spermaku di dalam vagina Susi sementara tubuh tegangku mendekap erat tubuh Susi yang sudah lunglai.
"Sudah selesai Mbak Sus.., sekarang suamimu pasti tak akan jajan di luar lagi. Susuk pemikat sukma itu sudah kutanam di rahimmu Mbak," kataku seraya meraihnya bangkit dari dipan kayu.

Setelah berpakaian kami kembali duduk di kursi dihalangi meja kerjaku.
"Maaf ya Mbak kalau prosesnya agak seronok begitu," aku melihat Susi agak kikuk setelah sadar bahwa kami baru saja melakukan hubungan seks yang hangat.
"Ehm nggak apa Mas, yang penting rumah tangga saya utuh. Terima kasih Mas," Susi lalu bangkit dan menyodorkan uang pecahan seratus ribu padaku.
"Oke Mbak, mudah-mudahan khasiat susuknya manjur ya. Nanti kalau masih ada keluhan, Mbak boleh konsultasi lagi kesini," kataku. Susi kemudian keluar kamar dan bersama Retno, mereka pulang, meninggalkanku sendiri.

Entah susukku itu manjur atau kebetulan, sejak saat itu Susi tak pernah lagi kembali. Hanya sempat sekali dia kembali dan minta dipasang susuk pelaris warung karena ia mau buka usaha warung makan. Nah untuk kali itu meski susuknya tak kupasang di vagina, tapi Susi sendiri yang minta supaya dipasang seperti susuk pertama, biar khasiatnya ampuh katanya.
Malam itu aku baru saja happy-happy dengan Johan dan Aris, teman kampusku. Kami bertiga menghabiskan belasan botol bir pilsener untuk merayakan ultah Aris di rumah Aris. Aku pulang dengan pandangan yang agak goyang, tapi sampai juga dengan selamat di rumah kontrakanku tepat jam 10 malam.

Sehabis mandi dan makan mie rebus, aku menikmati tayangan sinetron humor di sebuah saluran televisi di ruang depan. Rumah kontrakanku memang kecil, tipe 21, hanya ada kamar tidur, ruang praktekku, dan secuil ruang depan atau ruang tamu. Sisanya ya.. dapur dan kamar mandilah. Waktu itu jam sudah beranjak ke angka 10 lewat 30 menit malam, tiba-tiba bel pintu berbunyi.
"Permisi Mas Billy.., Mas.. permisi," terdengar suara anak lelaki dibalik luar pintu. Aku langsung membukakan pintu dan melihat siapa yang datang.
"Eh Maman, ada apa Man malam-malam begini?," tanyaku pada Maman, anak kelas tiga SD yang termasuk tetanggaku.
"Anu Mas.., Mbak Ais pingsan. Saya disuruh bapak minta tolong sama Mas Billy ngobatin Mbak Ais," kata Maman sambil memegangi tanganku. Maman adalah anak Pak Budi, pegawai negeri yang rumahnya hanya berselat delapan rumah dari rumah kontrakanku. Sedangkan Ais yang disebut Maman, ialah Aisyah, kakak perempuan Maman yang sudah kelas dua SMU.
"Oke-oke.., Maman pulang duluan ya, nanti Mas Billy susul," pintaku padanya. Maman pulang, sementara aku menyiapkan peralatanku mulai minyak gosok, body lotion dan kembang, lalu akupun menuju rumah Pak Budi.

"Ini lho Dik Billy, Ais mendadak pingsan habis makan malam tadi. Saya jadi khawatir, mana bapaknya lagi dinas luar kota lagi," Ibu Budi langsung menyampaikan ketakutannya waktu aku datang.
"Lho kata Maman tadi bapak yang nyuruh saya datang, kok dinas luar gimana sih Bu?," aku jadi sedikit bingung juga.
"Iya tadi waktu Ais pingsan, saya telepon bapaknya dan dia yang suruh minta bantuan Dik Billy," jelas Ibu Budi.
"Oh gitu, sekarang Ais mana? Biar saya lihat keadaannya,"
"Ada Dik di dalam kamarnya, ayo saya antar," Ibu Budi bangkit dan mengantarku kekamar Ais. Istri Pak Budi masih terlihat seksi walau usianya sudah masuk 37 tahun, apalagi malam itu hanya pakai daster longdres yang tipis. Lekuk tubuh dan kulitnya yang putih membayang jelas, soalnya aku jalan tepat di belakangnya waktu menuju kamar Ais.

Kulihat Ais terbaring lemas di kamarnya, setelah kupegang dahinya kupastikan Ais hanya masuk angin. Ditemani Bu Budi aku menyelesaikan tugasku menyadarkan Ais dari pingsan, caranya sangat mudah bagiku, dengan minyak gosok kuurut beberapa urat dibelakang tengkuk Ais. Tak lama setelah itu, Ais sadar dan membuka matanya.
"Wah pintar sekali ya Dik Billy ini," pujian Bu Budi langsung mengalir begitu Ais bisa duduk ditepi ranjangnya.
"Ah Ibu ini, saya hanya kebetulan punya kelebihan kok. Nah sekarang Ais minum air hangat yang banyak ya, biar punya tenaga," kataku mengajurkan. Wajah Ais hampir sama cantiknya dengan Bu Budi, tapi bodynya masih belum terbentuk dengan dada yang tampak kecil.
"Makasih ya Mas, jadi ngerepotin," Ais melempar senyum manisnya padaku. Setelah itu aku bangkit dan duduk di ruang tamu, sedangkan Bu Budi ke dapur untuk membuatkan teh hangat untuk Ais.

"Gimana Dik Billy? Apa penyakit Ais nggak berbahaya toh," Bu Budi bertanya dengan mimik serius menghampiriku dan duduk dikursi tepat dihadapanku, usai mengantar segelas teh ke kamar Ais. Pertanyaan yang lucu, tapi kupikir membawa cukup celah bagiku untuk melancarkan aksi usilku.
"Sebenarnya ada yang mengkhawatirkan Bu..," sengaja tak kuteruskan kalimatku supaya Bu Budi bingung dan panik.
"Menghawatirkan bagaimana toh? Tolong dong disembuhkan sekalian biar nggak nakutin gitu lo," benar dugaanku, Bu Budi langsung panik dan mengharap jawabanku. Aku langsung pasang wajah serius dan mendekatkan wajahku dengan cara sedikit menunduk di meja penghalang duduk kami berdua. Melihat itu Bu Budi juga segera merunduk mendekati wajahku untuk mendengar penjelasanku.
"Begini Bu, pengamatan batin saya, Ais bukan hanya masuk angin biasa tapi ada orang iseng yang coba mengguna-gunai dia. Mungkin pacarnya, atau mungkin lelaki yang cintanya ditolak Ais, Bu," kataku.
"Ah masak sih Dik? Terus bagaimana dong," Bu Budi semakin merunduk, sehingga aku bisa melihat bongkahan pangkal susunya yang masih kencang dibalik daster tipisnya.
"Ibu tenang saja, saya pasti bantu. Tapi syaratnya agak berat Bu, saya harus meruwat beberapa bagian tubuh Ais secara langsung," aku menjelaskan.
"Meruwat gimana sih," Bu Budi semakin bingung.
"Maaf ya Bu, tapi saya harus mengeluarkan guna-guna dari bagian vital Ais, payudara dan vaginanya. Tapi saya juga nggak tega, nanti dia malu lagi," wajahku seperti orang yang sedang berpikir.
"Apa ngak ada cara lain Dik, selain itu. Ais pasti nggak mau loh," jawab Bu Budi bermimik bingung.

Aku tak langsung menjawab pertanyaan Bu Budi. Jam kulihat sudah menunjuk angka 11.30 malam didinding ruang tamu.
"Ada Bu cara lain, namanya transformasi. Saya bisa melakukan ruwat itu dengan media tubuh lain yang golongan darahnya sama dengan Ais. Dik Maman golongan darahnya apa Bu?" tanyaku memancing.
"Wah.., sayang sekali Maman darahnya B. Tapi kalau saya bisa nggak Dik? Saya juga B sama kayak Ais," pancinganku rupanya membawa hasil. Setelah itu, aku mengarahkan dan menjelaskan bagaimana proses ruwat yang nantinya akan kulakukan pada Bu Budi. Dengan kepala manggut-manggut, Bu Budi akhirnya paham dengan penjelasanku.
"Sebenarnya risih juga sih, tapi gimana lagi ya demi Ais? Iya deh Dik, terserah Dik Billy yang penting Ais sembuh total," katanya pasrah.

Waktu itu Ais dan Maman sudah tidur, dan Bu Budi bersamaku beranjak ke kamar tidurnya untuk melakukan ruwatan itu. Sampai di kamar itu, Bu Budi langsung berbaring di ranjang dan aku duduk di tepi ranjang sebelah kiri.
"Sekarang Ibu konsentrasi dan tujukan pikiran ke Ais ya,"
"Ehm.. iya Dik, saya coba," Bu Budi yang terpejam ternyata semakin cantik, wajahnya mirip artis Nani Wijaya di masa muda dulu. Kutelusur pandanganku dari wajah hingga ujung kaki Bu Budi, bodynya pun masih sangat bagus mirip gadis 24 tahunan dengan buah dada yang lumayan dan kulit mulus betisnya yang putih. Aku mulai beraksi, tanganku mulai mengusap-usap kening, pipi, dan leher Bu Budi, itu kulakukan sekitar lima menit lamanya.

"Sekarang buka matanya Bu," pintaku segera diikuti Bu Budi.
"Maaf ya Bu, saya harus teruskan prosesnya. Mungkin Ibu agak rikuh, tapi saya sudah sering melakukan seperti ini kok, jadi Ibu nggak usah khawatir ya, soalnya memang begitu caranya,"
"Duh gimana ya Dik..? tapi nggak usah cerita ke bapak ya kalau prosesnya seperti ini," Bu Budi nampak bersemu rikuh, mungkin dirinya mulai berpikir sesaat lagi lelaki yang bukan suaminya ini akan melihat seluruh lekuk tubuh dan bagian vital yang selama ini hanya untuk Pak Budi.
"Iya Bu, itu sudah kewajiban saya kok," aku lalu meminta Bu Budi menanggalkan Bra dan Cd nya, sedangkan daster tipisnya sengaja kusisakan untuk menutup rikuhnya. Bu Budi kembali terpejam, dan perlahan aku membuka dua kancing daster bagian atasnya dan menurunkan daster itu sebatas perut, membiarkan buah dada Bu Budi yang syuur itu bebas keluar. Ternyata benar dugaanku tubuh Bu Budi memang sangat mulus dan terawat, putih dan tak bercacat dengan postur proporsional.
"Maaf ya Bu," aku langsung mengusap sekitar buah dada Bu Budi dengan usapan tangan searah jarum jam. Bu Budi tak bersuara, tapi keningnya sesekali berkerut ditengah usapan-usapan lembut tangan kananku didadanya.
Usapan kunaikan menjadi remasan kecil dan mulai menyentuh puting susunya, kadang kucubit kecil puting susu itu membuat Bu Budi menggelinjang menahan geli, tapi tetap tak bersuara.

Setelah mengusapi buah dadanya, aku mulai mengusap bagian betis Bu Budi dan terus naik ke paha hingga daster bagian bawah tersingkap naik dan berkumpul ditengah perutnya. Kini, pemandangan dihadapanku benar-benar menggoda kejantananku. Bu Budi juga ternyata memiliki vagina yang indah dihiasi bulu tebal yang dicukur rapi 2 cm panjangnya.
"Sekarang Ibu boleh buka mata," kataku.
"Terus apa lagi Dik," tanya Bu Budi dengan raut memerah bertambah rikuh padaku.
"Maaf Bu, sekarang tahap utamanya, saya harus menyedot guna-guna di tubuh Ais dengan media tubuh Ibu. Ibu bisa tahan kan? Paling prosesnya hanya makan waktu 15 menit. Tapi tahap ini Ibu ngak boleh tutup mata," jawabku meyakinkannya.
"Iya deh Dik.. tapi tolong cepetan ya, saya rikuh nih," Bu Budi menjawab pasrah.

Dengan menatap wajah Bu Budi yang bersemu merah aku mulai mendaratkan bibirku diputing susu kanan Bu Budi, susu terdekat pada posisi dudukku disisi kiri ranjang. Putting yang ranum kemerahan itu kujilati perlahan lalu kuhisap-hisap beraturan.
"Hsst uuhh.. Dik," suara tertahan Bu Budi terdengar waktu hisapanku agak kuat diputing susunya. Putting susu kiri pun jadi sasaran hisap dan jilat selanjutnya, sementara kedua tanganku memeganggi susu seksi Bu Budi sambil terus menghisap dan menjilat bergantian susu itu.
"Uhh.. gelii Dik..," Bu Budi mengelinjang saat isapan dan jilatan dikedua susunya kupercepat ritmenya, tangannya meremasi sprei ranjang.
"Tahan sebentar lagi ya Bu, hampir selesai dibagian ini. Kalau tidak tuntas nanti Ais nggak sembuh total," kataku menghIburnya. Aku mengambil dua tangan Bu Budi dan meletakkannya agar mendekap bahu dan leherku, Bu Budi menurut, dan aktifitasku kulanjutkan lagi menjilat dan menghisap susunya.

Napas Bu Budi mulai tersengal dan remasan tangannya dibahuku semakin lama semakin kuat menahan geli yang sangat disusunya.
"Mffhh oouhh..," Bu Budi mulai menggeliat-geliat mengikuti irama jilatan di susunya. Kupandang wajahnya, ternyata sorot matanya mulai redup khas wanita yang dilanda birahi. Tak mau hilang kesempatan, tangan kananku segera merayap menjelajahi perut dan pahanya. Bu Budi semakin terpojok, tangan kananku kini sudah mulai mengusap usap paha bagian dalam Bu Budi, kakinya merenggang dengan posisi lutut kaki kanan dinaikan sehingga tanganku lebih leluasa menggerayangi paha bagian dalam itu. Sesekali jemariku menyentuh bibir vagina Bu Budi, dari situ aku tahu Bu Budi sudah dirasuki birahi yang sangat, kurasakan tanganku menyentuh cairan kental yang sudah membasahi vaginanya.

"Oke Bu, sudah selesai di bagian dada. Sekarang tahap utama kedua, saya harus menghisap dan mengeluarkan guna-guna di tubuh Ais lewat kemaluan Ibu. Ibu tahan ya," Kulihat Bu Budi sudah pasrah benar, dengan pandangan sayu ia hanya bisa mengangguk. Aku pun segera beralih posisi dan jongkok tepat disela kedua kakinya yang sudah tertekuk naik. Vagina Bu Budi memang sudah basah, tapi dua bibirnya masih sangat ranum dan terlihat kencang. Setelah membersihkan vaginanya dengan ujung sprei yang berhasil kuraih, aku lalu mulai menjilati vaginanya.
"Aauuhh.. iihh.. geelii Dik, saya nggak tahan," Bu Budi pekik tertahan dan tangannya meremasi kepalaku di selangkangannya.
"Tenang dulu Bu, saya harus cari posisi guna-gunanya. Agak geli Bu ya," aktifitas sengaja kuhentikan dan mengajak Bu Budi bicara.
"Ehhmm he-eh Dik, geli sekali, soalnya saya nggak pernah dijilatin gitu itunya," Bu Budi bicara dengan suara serak dan napas tersengal, aku lanjutkan lagi aktifitasku. Aku yakin ini pengalaman baru buatnya karena Pak Budi tak pernah melakukan foreplay semacam ini setiap kali ngeseks dengan istrinya ini. Cairan asin yang keluar dari vagina Bu Budi semakin banyak, dan kini pinggulnya mulai bergerak mengikuti irama jilatanku. Sambil melakukan itu kuintip wajah Bu Budi yang sudah total birahi, kepalanya bergerak-gerak tak beraturan setiap kali jilatan dan isapan kusasarkan di klitoris vaginanya bersamaan rintihan yang semakin tak karuan dari bibirnya.

Penisku sudah berdiri tegak, apalagi melihat gerakan dan mendengar rintihan Bu Budi yang kian erotis. Sambil aktifitas kubuka celanaku sebatas paha sehingga penisku yang berukuran lumayan panjang dan besar meloncat kegirangan.
"Bu.., guna-gunanya hampir keluar, tapi harus dicungkil dari dalam vagina dengan jari atau alat lain," aku hentikan jilatanku, dengan segera menaikkan posisi tubuhku. Posisiku seolah menindih tubuhnya tetapi tubuh kami tak bersentuhan karena kutopang dengan dua tanganku.
"Bagaimana Bu?," sebelum Bu Budi bereaksi aku bertanya dengan wajah sudah demikian dekat dengan wajahnya.
"Terserah Dik, lakukanlah.. mffphh," diluar dugaanku, Bu Budi ternyata agresif menyambar bibirku dengan kuluman yang penuh nafsu. Topangan tanganku terlipat sehingga tubuh kami langsung saling tindih, dalam posisi itu kuusahakan celanaku lepas total dari kaki, dan berhasil. Kini penisku yang mengacung tepat berada dibelahan bibir vagina Bu Budi. Ciuman bibir kami masih berpagut sedangkan pinggul Bu Budi mulai mendesak-desak naik mencari batang kenikmatanku.

Sengaja keadaan itu kugantung, aku ingin ia menrengek dan meminta agar aku menyetubuhinya.
"Mnffh.. uuhhm, ayo Dik cungkil guna-guna itu..," Bu Budi melepas pagutan bibirnya dan merengek padaku.
"Maaf Bu.., tapi apa Ibu nggak marah nih," gurauku.
"Ayoo Dik Billy, udah kepalang tanggung lagipula.. oughh.. asstt," belum selesai bicara, Bu Budi langsung kuserang dengan ciuman di bibir, leher dan susu bergantian, sementara ujung penisku yang sudah terjepit sebagian di bibir vaginanya kutekan masuk sampai amblas. Bleess.. jleepp.. jleepp. Bu Budi menyambut penisku dengan goyangan pinggulnya yang erotis, baru kali ini kurasa vagina wanita yang berkontraksi sebelum ia orgasme, orang bilang empot-empot.
"Ouuhh Dik.. aahh, eenaak Dik aeehh..," Bu Budi menceracau dan tangannya mengoyak-koyak baju yang masih kukenakan. Ritme pompa penisku kutingkatkan cepat dan teratur dengan dua tangan menopang tubuh bagian atasku. Bu Budi semakin hilang kendali, kepalanya bergerak kanan-kiri, gyang pinggulnya semakin liar seirama rintihannya yang makin kacau pula.

15 belas menit berlalu, dan kurasa Bu Budi sudah hampir tiba pada puncaknya.
"Aaahh Dik, saya mau keluar Dik..," Bu Budi bergerak semakin cepat dibawah kendali penisku. Sebelum dia mencapai orgasmenya, penisku secepat mungkin kutarik keluar sekaligus menjauhkan diriku dari tubuhnya.
"Ouhhgghh.. ohh, kenapa berhenti Dik? Ayo dong teruskan, saya hampir sampai," Bu Budi merengek dengan wajah yang masih penuh birahi.
"Maaf Bu, tapi sudah selesai ruwatnya. Guna guna di tubuh Ais sudah keluar melalui ruwat tadi, kan kita melakukannya untuk mengobati Ais," kataku padanya.

Bu Budi tersentak sadar, mungkin dia kecewa juga telah hanyut dalam birahi tadi. Tapi tak lama kemudian meluncur cerita dari bibirnya yang tipis, katanya Pak Budi tak pernah memberikan kepuasan seksual yang maksimal, meskipun hubungan seks mereka lakukan dua hari sekali.
"Bu.. apa Ibu mau kita lanjutkan lagi?," aku mengusap lembut dahi Bu Budi.
"Kalau Dik Billy nggak sudi, ya sudah nggak apa kok," Bu Budi menampakkan raut kecewa.
"Bukan begitu Bu. Saya mau lanjutkan asal kita berdua telanjang bulat, dan tolong Ibu bayangkan bahwa saya adalah Pak Budi, supaya nggak rikuh Bu," kataku seraya melepas luruh dasternya yang terkumpul di bagian perut, aku pun menanggalkan bajuku.

Kami kembali saling pagut, dan saling tindih. Penisku langung kuhujamkan ke vaginanya dan kami kembali larut dalam permainan seks tengah malam. Sampai akhirnya,
"Ahh oohh.. ngghh ahh," Bu Budi mengerang kuat mengigit bahuku saat serangan orgasme tiba pada vaginanya. Kontraksi vaginanya terasa jelas menjepit-jepit penisku yang masih aktif. Genjotan kunaikkan lebih kuat dan cepat, membuat Bu Budi benar benar tuntas orgasme. Tak lama berselang, aku pun tiba pada puncak nikmatku.
"Ihh.. ohh sayang..," tubuhku tegang dan penisku terhentak hentak berkali kali dalam vagina Bu Budi sambil menyemburkan sperma. Aku lunglai dan mengambil tempat disisi kiri Bu Budi, kami kelelahan tanpa sadar saling berpelukan dan akhirnya lelap tertidur.

Waktu terjaga jam sudah menunjuk angka 07.30 Wita, suara di luar kamar Bu Budi terdengar menandakan Maman dan Ais sudah bangun. Aku dan Bu Budi segera merapikan diri dan mengenakan pakaian kami, lalu keluar menuju ruang depan.
"Sudah baikkan rasanya Dik Ais?," aku langsung bertanya pada Ais yang memandang heran ke arah kami di ruang depan. Gawat pikirku, pasti Ais mengetahui apa yang terjadi dan akan melaporkannya pada Pak Budi nantinya.

"Ohh, ini lo sayang, Mas Billy ngobatin kamu dengan ruwat khusus, jadi harus nginap di sini untuk begadang semalam suntuk. Ibu menemani ngobrol," Bu Budi seakan tahu sorot curiga di mata Ais.
"Ehmm, maaf ya Mas Billy, Ais jadi ngerepotin," untunglah Ais bisa dikelabui, kalau tidak berabe juga dong. Setelah basa-basi sebentar, aku lalu pulang ke rumah kontrakanku dan siapkan diri ke kampus lagi pagi itu. Entah kapan aku bisa menyetubuhi wanita semacam Bu Budi lagi.
Aku masih di kota M dan masih kuliah. Pagi ini aku kedatangan pasangan suami istri, Toto dan Juminah, mereka datang dari kampung yang letaknya sekitar 25 Km dari rumah kontrakanku. Katanya sih mereka tahu aku bisa ngobatin penyakit secara supranatural dari tetangga mereka, Pardi. Aku sendiri lupa apa pernah ya aku ketemu orang namanya Pardi atau tidak. Singkatnya, pasangan Toto yang sopir truk antar pulau dan Juminah yang pembantu rumah tangga itu datang padaku dengan keluhan pingin cepat dapat anak.

"Benar lo Mas, berapapun biayanya saya usahakan asal kami bisa punya momongan. Wong kami ini sudah tujuh tahun kawin lo Mas," Toto memohon mohon padaku diruang tamu, sementara Juminah hanya ikut manggut-manggut setiap suaminya bicara.

Toto adalah pria bertubuh ceking dan usianya sekitar 40 tahunan, sedangkan Juminah walau agak kampungan dan lusuh tapi terlihat jauh lebih muda dengan usia sekitar 29 tahunan. Body Juminah yang agak gemuk terlihat serasi dengan tinggi tubuh yang lebih tinggi 5 cm dari Toto.

"Emangnya seminggu berapa kali kalian melakukan hubungan badan," setelah puas menilai penampilan dua tamuku itu, aku pun mulai meluncurkan pertanyaan dengan mimik serius.

"Eh.. Anu Mas. Kadang-kadang dua kali seminggu, atau malah kadang dua minggu sekali, soalnya saya 'kan sopir truk antar kota Mas. Kadang saya nginap diluar kota, jadi nggak sempat gituan," Toto menjawab malu-malu, Juminah malah tertunduk habis.

"Oh.. Begitu toh. Pantas kalian susah dapat momongan, wong jarang kumpul dan kerja berat terus sih," aku berujar sambil menenggak kopi pagiku.

"Oke sekarang kalian tenang saja, biar aku bantu masalah kalian. Nah sekarang kalian masuk ke kamar itu dan tunggu aku ya," pintaku pada tamuku sambil menunjuk kamar praktikku.

Beberapa menit setelah mereka masuk, aku langsung nyusul, di kamar itu aku duduk di kursiku sementara mereka di kursi tepat depanku yang dihalangi meja kerjaku.

"Begini Mas Toto, ini kan untuk kebaikan kalian berdua jadi kumohon jangan rikuh dan risih dengan ruwatan pengobatan yang akan kulakukan ya, bagaimana? bisa apa nggak?," tanyaku.
"Oh.. Monggo saja Mas, kami memang siap apa saja untuk dapat anak kok," Toto menjawab.
"He-eh Mas kami siap kok," Juminah menimpali.
"Kalau begitu sekarang kalian buka baju dan ganti pakai sarung ini ya, terus tiduran di dipan itu," kuberi dua lembar sarung bermotif bunga dan menunjuk dipan di kamar praktikku. Pasangan dari kampung itu nurut saja dan sekejap kemudian sudah berbaring berdampingan di dipan, hanya pakai sarung tok.

Aku berdiri mendekati pasangan yang sudah pasrah itu, mereka kuperciki air kembang sambil merapal mantra seadanya dibibir.

"Sekarang tolong kalian bersetubuh ya, iya bersetubuh, main, ngeseks..," perintahku disambut keheranan keduanya.

Tapi mereka tak punya pilihan, toh mereka butuh bantuanku. Toto langsung saja membuka sarungnya dan mempreteli sarung Juminah hingga keduanya bugil tulen. Bibir Toto yang agak monyong langsung nyosor menciumi sekujur tubuh Juminah, sedangkan tangannya mulai gerilya di bagian vagina istrinya itu.

Wah, pemanasan seks pasangan ini rupanya kurang ahli, pantas saja sudah dapat anak. Lima menit kemudian Toto main tancap saja, padahal penisnya yang imut belum tegak benar sehingga kelihatan agak susah menembus vagina Juminah yang masih kering belum terpacu birahi.

"Duuhh belum Mas, susah sekali masuknya," Juminah menggerutu tapi tetap aku dengar.

Toto tak peduli dan terus menggenjot pantatnya, menggesek gesek penisnya yang masih layu ke permukaan vagina Juminah dengan napas memburu, nafsu benget.

"Ohh yess.. Ahh," Toto sudah tamat sebelum penisnya belum masuk utuh ke vagina Juminah, ia langsung KO dan menggelepar disisi istrinya.

"Wah.. Wah.., Mas Toto ini gimana sih. Bagaimana mau punya anak kalau sperma sampeyan nggak nyiram rahim Mbak Jum. Payah sampeyan ini Mas," kataku memberi komentar.

Toto dan Juminah kembali duduk dihadapanku dihalangi meja, lalu kujelaskan bagaimana proses pembuahan yang dibutuhkan rahim wanita sebelum akhirnya hamil dan melahirkan.

"Mas Toto kulihat burungnya kurang kuat ya, kok baru gesek-gesek sudah KO. Tuh Mbak Jum belum rasain apa-apa. Iya kan Mbak?," Juminah tertunduk malu mendengar pertanyaanku, Toto malah garuk-garuk kepala, mereka masih pakai sarung tok.

"Terus gimana caranya Mas supaya aku dapat momongan toh," Toto bertanya.

"Caranya ya perbaiki mutu seks kalian itu, terutama Mas Toto, burungnya harus kuat sehingga nyembur pejuhnya di dalam vaginanya Mbak Jum, gitu loh. Selain itu nanti kuberi ramuan," kataku menjelaskan.

"Anu Mas, punya Mas Toto memang nggak bisa lebih dari itu kok, padahal sudah minum banyak jamu, tapi begitu terus," Juminah menyelaku.
"Ya mau bagaimana lagi wong memang begitu," Toto protes.
"Oke-oke, supaya Mas Toto lebih sip, gimana kalau aku contohkan cara main yang tepat, biar pas dan cepat dapat anak," aku menawarkan. Mereka saling pandang kemudian memandangku lagi.
"Terserah bagaimana baiknya Mas," Toto dan Juminah menjawab hampir serentak.
"Oke sekarang Mas Toto duduk disini dan Mbak Jum silahkan tiduran lagi di dipan," perintahku.

Toto duduk dikursi tadi, Juminah sudah berbaring berbalut sarung sebatas dada, aku mendekati dan mencipratkan air kembang ke sekujur tubuhnya.

"Begini Mas Toto, perhatikan cara menaikan birahi istri pada langkah pertama," kataku seraya menurunkan kain sarung Juminah sampai ke perut. Aku duduk disamping Juminah yang tiduran, lalu kuraba-raba dua gundukan di dada Juminah, meski sudah tujuh tahun kawin, rupanya susu 36B Juminah masih kencang kayak perawan.

"Ihhss geli Mas.. Aku malu ah..," Juminah menepis tanganku, tapi kemudian membiarkan lagi tangan itu beraksi.

"Mas jangan cemburu ya ini untuk kebaikan sampeyan juga kan," kulanjutkan aktifitasku dan Toto hanya manggut-manggut memberi restu. Kini bibirku mulai aktif menjilati susu Juminah bergantian kanan dan kiri. Hisapan dan jilatan terus kulakukan sampai lima menit lamanya.

"Hsshh aauuhh.. Emmffhh maasshh.. Aahkk," Juminah mendesis dan menggeliat-geliat karena hisapanku di susunya, tangannya malah sudah mendekap kepalaku seperti enggan kalau kulepas hisapan itu.

"Gimana Mbak Jum? enak?,"

"Ehmm iiyah Mas," Juminah menatapku sayu, wajahnya cukup manis kalau begitu, rasanya mirip artis Denada Tambunan, body gemuknya pun mirip waktu Denada belum diet (Sorry ya kalau Dena ikut baca, abis emang mirip sih).

"Nah Mas Toto sekarang lihat nih tahap kedua merangsang birahi istri," aku mengambil posisi jongkok tepat diantara dua paha Juminah yang ngangkang. Vagina Juminah sepintas kelihatan jorok, apalagi bulunya hitam, panjang, sembrawutan lagi. Kuusap pelan bagian sensitif Juminah dari bawah ke atas dan terus begitu beberapa kali.

"Auuhh mashh geliih ahhss," pinggul Juminah naik turun mengikuti tanganku yang mengusap vaginanya.

Saat cairan kental mulai membasahi bagian itu, aku langsung merunduk dan menciumi bibir vagina Juminah, aroma vagina cewek kampung memang asyik dan alami. Kugunakan lidahku menjilati bibir dan klitoris vagina Juminah, membuat Juminah kalang-kabut dan menggelinjang tak karuan. Kuintip mulut Juminah sedikit terbuka dan merintih-rintih, rambutku dijambak-jambak Juminah. Sementara Toto serius melihat bagaimana istrinya sedang kubuat birahi tinggi. Gerakan tubuh Juminah yang agak gemuk membuat dipan bergerenyit, kreyat-kreyot, tapi makin asyik. Aku sendiri mulai merasa birahi, penisku mulai tegang dan mendesak CD yang kupakai. Hampir 10 menit kujilati vagina Juminah, sampai kurasakan dua pahanya keras menjepit kepalaku dan jambakan pada rambutku makin kencang.

"Aahhss aahhdduhh.. Iihhss.. Mmmff..," Juminah sampai pada orgasmenya, gerak pinggulnya menghentak-hentak kepalaku yang dijepit pahanya, lalu jepitan itu lunglai, Juminah lemas.

"Gimana Mbak Jum, ringan rasanya?" aku bertanya sambil melepaskan pakaianku sampai bugil juga.

"Iyaah mass agak ringan, enak sekali rasanya," Juminah masih menatapku dengan birahinya.

"Nah Mas Toto, sekarang lihat tahap terakhir ya. Bagaimana caranya masukkan penis ke vagina supaya cepat hamil," aku berkata pada Toto yang tetap serius memperhatikan.

Juminah terbaring pasrah dengan dua paha mengangkang lebar, vaginanya yang kuyup jelas terlihat karena bulu lebatnya lusuh oleh cairan vaginanya. Penisku yang sudah maksimal berdiri kusisipkan di bibir vaginanya dan tubuhku mulai menindihnya, susu Juminah kembali jadi sasaran jilat dan hisapku.

"Sabar ya Mbak Jum, pasti tak buat kamu ketagihan," bisikku di telinga Juminah.

"Uhh mass, teruskan apa maumu mass..," Juminah tak sabar menunggu penisku menembus vaginanya. Bless.. Jleepp, penis kudorong masuk menembus vagina Juminah yang masih terasa rapat dan nikmat, Juminah merintih tertahan merasakan benda yang masuk tak seperti yang selama ini dirasakan dari Toto.

"Eh Mas Toto, kok bengong. Nah ini Mas caranya yang betul, tuh lihat burungku masuk utuh ke vaginanya Mbak Jum," aku memberi tahu Toto, dia manggut-manggut saja dan melongo melihat istrinya kelepar-keleper kubuat.

"Ahhyoo mass.. Aku ngghhaakk kuaatt, ohh..," pinggul Juminah terus naik mendesak penisku supaya bergerak di vaginanya. Kupeluk tubuh gemuk Juminah, kugenjot penisku, kepala Juminah bergerak tak beraturan, rintih dan desahnya makin menjadi-jadi.

"Enak Mbak Jum.. Hehh, enaak ndaak mBHaak,"
"Iyahh oosshh.. Eenhhaak, teruusshh mashh aauhh,"
"Mmmffhh ehmnnff," bibir Juminah yang agak tebal tapi seksi kulumat habis, aku jadi nafsu banget dengan bau keringat ketiak Juminah yang khas kampung itu. Kugenjot makin kuat dan makin teratur, Juminah pontang-panting mengimbangi gerakanku dengan menggoyang pinggulnya.

Permainan kami cukup panjang tapi Juminah belum kelihatan menyerah, posisi segera kuubah, kubalik tubuh kami sehingga Juminah yang jadi menindih tubuhku.

"Mas Toto, kalau lagi main, burung sampean nggak bisa masuk, gini cara yang tepat supaya imbang," kataku, Toto masih saja manggut-manggut, terpesona melihat bagaimana istrinya yang kini menggenjot aku.

"Duuhh.. Iisstthh, kokhh tambah ennahkk begini.. Masshh.. Auhh," Juminah kini bagai joki diatas penisku, tubuhnya yang gemuk dan lemak pahanya membuat kenikmatan yang asyik di penisku, aku menarik tubuhnya sampai dia merunduk dan menyasar lagi susu ranumnya dengan isapan lidahku.

"Ayoo Mbaak Jum, ambill nikmatnya Mbak..,"

"Ahh.. Enghh.. Mmmffhh, ohh iyakhh mashh.. Akuu enaakkhh.. Mahhss.. Ahhss," goyang pinggul Juminah makin menekan penisku, makin lama gerakannya makin kuat. Wajah Juminah semakin ayu dalam keadaan seperti itu, mata sedikit terpejam, bibir terbuka mendesis, kepalanya gerak kanan kiri diatas tubuhku.

Kurasa vaginanya makin membasah, ini saat yang tepat meghajarnya hingga puncak pikirku. Sekejap aku ubah posisi kami lagi, dengan berputar kekiri kini tubuhku kembali diatas tubuh Juminah, tanpa memberi kesempatan padanya, aku terus menggenjot penisku menghujam-hujam vaginanya.

"Aaahh.. Akuu piipisshh mashh.. Ouhh.. Emhhff.. Ohhss..," tubuh Juminah kejang, dinding vaginanya berkontraksi berkali-kali dalam genjotan penisku, sampai akhirnya kepala Juminah lunglai, menandakan orgasmenya sudah utuh dan tuntas. Toto terpana melihat raut puas istrinya, sementara aku masih teratur menggenjot tubuh Juminah.

"Ahh Mas To.. Ini puncak namanya aauhhkkhh..," kurasa cairan spermaku tak mungkin kubendung lagi, kutarik penisku dari liang nikmat Juminah, dan sekejap semburan spermaku tumpah membasahi perut Juminah.

"Uhh.., itu namanya pejuh Mas, dan itu harus ditumpahkan didalam vagina Mbak Jum, supaya hamil. Kalau Mas To tumpahnya diluar terus kapan hamilnya Mbak Jum," aku bangkit menyuruh Toto melihat sperma kentalku diperut Juminah.

"Lohh kok nggak ditumpahin didalam saja Mas, biar dia hamil," Toto benar-benar blo'on.
"Wah Mas ini gimana. Kalau spermaku masuk ke vagina Mbak Jum dan Mbak Jum hamil, berarti itu anak ya anakku jadinya, bukan anak sampeyan, gimana sih," cerocosku sambil kembali mengenakan pakaian, mereka juga kembali pakai pakaian masing-masing.

Setelah itu, kami basa-basi sejenak, dan kubuatkan ramuan kuat untuk Toto supaya greng kalau tempur sama Juminah. Mereka kemudian pulang dan menyisipkan uang pecahan ribuan yang jumlahnya sampai lima puluh lembar.

Oh ya, sejak itu, kira-kira sebulan kemudian pasangan itu datang lagi dan minta diajari lagi begituan. Aku kembali senang bisa bersetubuh dengan Juminah yang sintal dan montok, dan Toto senang bisa belajar memuaskan istrinya. Kabar terakhir yang kudengar, tiga bulan kemudian Juminah hamil. Entah itu anak siapa, soalnya waktu datang kedua kali aku tumpahkan spermaku dalam vagina Juminah, habis nggak tahan sama rintihannya itu. Tapi aku tetap berharap anak itu anak Toto, hasil sperma Toto. Sejak dikabari aku kalau Juminah hamil, mereka tak lagi datang padaku, karena kusarankan supaya mereka kontrol ke puskesmas saja untuk kehamilan Juminah.