Friday 27 January 2012

Cerita seru Menutup Layar

Kino terus menciumi leher jenjang yang harum dan kini agak basah oleh keringat. Ia mengecup-mengembus, menggigit kecil, menghela nafas menghirup semerbak tubuh wanita yang menggairahkan ini. Rasa terimakasih memicu semangat dan birahinya, ingin rasanya ia mendekap dan melumat tubuh hangat yang ditindihnya ini. Mba Rien tertawa kecil menerima perlakuan Kino, "Stop ....," ucapnya, tetapi kata itu seperti kehilangan makna. Dan Kino tak mau berhenti, malah semakin bersemangat menelusuri urat samar kebiruan di leher yang bak pualam itu. Kino naik menciumi dagu Mba Rien, menyusur bawah rahangnya, lalu turun lagi sampai ke pangkal leher. Tangannya dengan cepat menyibak kaos wanita itu, sekaligus membuka beha coklat di bawahnya, menampakkan dada ranum yang bergerak naik-turun dengan cepatnya."Ah, Kino .... Ohhh," akhirnya Mba Rien hanya bisa mendesah, dan perlahan tangannya yang tenggelam di rambut Kino kini justru menekan kepala pemuda itu. Justru mendorongnya agak lebih ke bawah, sehingga bibir Kino kini menelusuri lembah indah di antara kedua payudara yang membusung-mengembung-menggairahkan. Harum sekali lembah itu, lembut dan bergetar menyembunyikan jantung yang berdebar kencang. Kino semakin berani, mengangkat mukanya menggigit daging yang membola halus-licin itu sehingga Mba Rien menggelinjang dan menjerit kecil, "Oh, .... jangan Kino..." tapi tangannya tak juga sanggup mendorong kepala Kino lepas dari dadanya. Mba Rien hanya bisa berkata tak bisa berbuat. Sebuah penolakan yang tak punya daya, sebuah penyerahan yang tak terelakkan. Apalagi ketika mulut pemuda yang menghembus-hembuskan nafas panas itu kini tiba di satu puncak payudaranya. "Oh ... jangan itu,... Kino, jangan itu... ", erang Mba Rien, tetapi terlambat sudah! Dengan cepat Kino menyedot puting kenyal yang berdiri menantang itu. Mba Rien menggeliat, melepaskan tangannya dari kepala Kino, meremas-remas seprai seperti hendak mencari kekuatan dari situ. Dunia nyata seperti menghilang dari pandangan Rien yang kini terpejam menahan nikmat tak terperi yang menyerbu tubuhnya. Satu tangannya bergerak ke atas, menggenggam tiang ranjang seakan kini seluruh hidupnya bergantung di sana. Tak ada lagi pikiran bimbang, atau takut, atau kuatir di kepalanya. Semuanya hilang berganti kenikmatan belaka, menjalar-jalar seperti api keluar dari mulut Kino yang kini mengemut-emut puting susunya. Kino pun semakin bersemangat, menyedot kuat-kuat dan mengulum-ulum daging kecil kenyal yang terasa aneh di mulutnya itu. Beginikah seorang bayi merasakan susu ibunya? pikir Kino sambil membayangkan betapa rakusnya dulu ketika ia masih bayi!Rien merasakan kewanitaannya berdenyut lagi, bagai bangkit dari istirahat, setelah tak lebih dari 10 menit lalu bergeletar terlanda orgasme. Kini kedua kakinya membuka lebih lebar lagi, dan tak sadar ia menarik satu tangan Kino untuk kembali ke bawah sana. Kino pun tak perlu mendapat tuntunan lagi sekarang. Tiba-tiba saja ia sudah menjadi piawai. Tangannya dengan cepat melakukan lagi apa yang baru saja ia pelajari dalam permainan serba menggairahkan ini. Tangan itu tahu harus berbuat apa di ladang subur yang selalu menjanjikan kehangatan itu. Penuh kepastian, tangan pemuda itu kini mengusap-usap, menerobos-menelusup, meraih-raih. Rien membuka pahanya semakin lebar, semakin menguak, menyediakan keleluasaan kepada Kino."Ohhh, Kino.... Ohhh, aku mau .... Aaah, aku ingin ....," Mba Rien seperti kehabisan kata-kata, "Kino,... aku,... ahhh.." Apa yang hendak disampaikannya? tanya Kino dalam hati, tetapi ia tidak berani bertanya. Mulutnya tak hendak lepas dari mainan baru di puncak payudara yang menggelorakan itu!Dengan satu jari tengahnya, Kino membuka-menguak sepasang bibir di bawah sana. Telah menebal, bibir-bibir itu. Basah dan licin pula. Hangat dan berdenyut juga. Jari Kino seperti menari-nari, melenggak-lenggok di taman sutera yang halus menggelincirkan. Terkadang, jari itu menelusup jauh ke bawah dan sampai di sebuah liang sempit yang berdenyut-denyut. Rien tersentak ketika disentuh ujung jari Kino di bagian yang sangat peka itu. Tubuh bagian bawahnya tiba-tiba terangkat meninggalkan kasur, dan akibat gerakan itu jari Kino akhirnya melesak masuk, tergelincir cepat sampai tenggelam sepanjang satu buku jari. Ada sedikit lengket dan panas dan basah terasa oleh Kino di ujung jari yang dilingkari sebentuk otot liat-kenyal yang bergerak-gerak seperti mulut kecil. Dan Rien pun merintih pelan, ".... teruskan ... masukkan .... Oh, Kino... teruskan...". Dan Kino mendorong lebih dalam, merasakan jarinya kini menelusuri dinding licin bak sutra yang basah. Dan Rien semakin keras mengerang lalu memutar pinggulnya dalam gerakan asal-asalan. Kino menarik sedikit jarinya, tapi tangan Mba Rien mendorongnya kembali. Kino menarik lagi, tetapi didorong lagi. Ditarik-didorong. Ditarik-didorong. Berkali-kali, semakin lama semakin cepat, seperti kereta api sedang mengambil ancang untuk melaju. Rien menutup mulut dengan punggung tangannya, menahan sebuah teriakan-teriakan kecil yang terputus-putus... ah ... ah ... ah. Lalu ia menggelepar kuat sekali, dan tangan Kino lepas dari selangkangannya, seperti dilemparkan oleh kekuatan gaib. Kino sendiri terkejut sekali dibuatnya. Dan Mba Rien tidak bisa diajak bicara, karena wanita itu menggeliat, mengguling ke samping, lalu tertelungkup dengan tubuh berguncang-guncang. Ranjang berderit-derit. Kino terpana. Astaga, apa yang telah kulakukan?Kino hendak bangkit meninggalkan tempat tidur, tetapi tiba-tiba Mba Rien telah berbalik. Wajahnya agak memerah dan bibirnya yang menggairahkan itu seperti tomat matang. Matanya setengah tertutup, memandang sayu, tetapi penuh dengan sinar yang tak bisa digambarkan oleh kata-kata. Kino setengah terduduk di pinggir ranjang, tak pasti apa yang harus dilakukannya. Lagipula, kini ia kuatir ada orang yang mendengar kegaduhan di kamar ini, walaupun ia juga tahu paviliun tempat Mba Rien indekos terpisah oleh halaman cukup luas dari rumah utama.Mba Rien tiba-tiba tertawa kecil, "Aduh, Kino... lihat apa yang telah kamu lakukan," ucapnya masih agak terengah. Pakaiannya semrawut, behanya sudah terlepas sama sekali, dan roknya tersingkap lebar."Maaf, Mba ...," ucap Kino pelan. Ia sungguh-sungguh bermaksud minta maaf. "Hei... kenapa harus minta maaf?", ucap Mba Rien ringan, lalu ia bangkit dan merapikan pakaiannya, tetapi tidak memakai kembali beha maupun celana dalamnya yang kini entah di mana. "Kamu memberikan lebih dari yang aku minta, dan tak perlu minta maaf untuk itu ..." lanjut Mba Rien lagi dengan suara lembut, hampir berbisik.Mereka duduk berdua di pinggir ranjang. Mba Rien memeluk bahu Kino, lalu mencium leher Kino sedikit di bawah kuping. Kino menggeliat kegelian, lalu balas memeluk pinggang Mba Rien. Kemudian ia mendengar wanita itu berbisik dengan nafasnya yang hangat menyentuh tengkuk Kino, "..sekarang giliran kamu, yaa..."Tangan Mba Rien cepat sekali telah membuka resleting celana Kino yang diam saja tak tahu harus berbuat apa. Lalu dengan lembut tetapi agak memaksa, Mba Rien mendorong tubuh pemuda itu sehingga telentang di kasur, sementara ia sendiri tetap duduk dan terus membuka resleting sampai lepas sama sekali. Lalu jari-jarinya yang letik mulai mengelus-elus di atas celana dalam Kino yang telah menggembung dan agak basah di sana-sini. Ah, Kino pun hanya bisa memejamkan mata, membiarkan apa pun yang akan terjadi berikutnya. Ia pasrah saja.Dengan tangan yang lain Mba Rien membuka kancing baju Kino, satu-persatu dengan ketrampilan dan ketenangannya. Tak lama kemudian, dada Kino yang bidang telah terbuka sama sekali. Lalu Mba Rien membungkukan badannya sedikit, dan .... Kino menggeliat kegelian ketika bibir basah wanita itu tiba di putingnya yang kecil. Rasanya seperti disengat kenikmatan dan Kino mengerang pelan. Mba Rien bahkan lalu mengulum dan menyedot, sehingga Kino tak lagi hanya mengerang tetapi juga merintih. Enak sekali, ternyata jika seseorang bermain-main dengan puting susumu! pikirnya dalam hati.Sementara itu jemari-jemari Mba Rien yang lain telah masuk menyelinap ke balik celana dalam Kino, dan menemukan kejantanan pemuda itu tegak-keras-panas. Jemari itu lalu meremas pelan, mengelus dan menelusur ke atas ke bawah. Kino memejamkan matanya erat-erat, seakan memastikan bahwa ini adalah sebuah mimpi yang nyata, sebuah kenyataan yang dimimpikannya. Tubuhnya meregang merasakan jemari itu melakukan sesuatu yang menakjubkan, membuat seluruh daerah di bawah perutnya terasa tiga kali lebih besar dari biasanya.Mulut Rien terus mengulum puting Kino yang kecil, tangannya terus menggosok-meremas. Dua sumber kenikmatan saling bertumbukan di tubuh Kino, menyebabkan pemuda ini bergetar hebat. Sebuah desakan gairah mulai terkumpul di tubuh bagian bawahnya, membuat kedua pahanya terasa berat. Seluruh otot tubuhnya seperti sedang bersiap-siap meledak, seperti seorang lifter bersiap-siap mengangkat barbel, seperti kuda yang berancang-ancang melompat, seperti burung garuda yang bersiap mengudara.Gerakan Rien makin cepat, dan sedotan mulutnya makin kuat memilin-milin puting Kino yang tentu saja tak pernah lebih besar dari semula. Tidak seperti puting payudaranya Mba Rien. Tangan Mba Rien naik-turun dengan bergairah, begitu cepat sehingga hanya tampak dalam bayang-bayang. Kino mengerang panjang ketika akhirnya ia tak bisa lagi menahan serbuan puncak birahi menerjang mencari jalan keluar. Apalagi kemudian satu tangan Mba Rien yang masih bebas, ikut bermain di bawah sana, memegangi kantong di bawah kelaki-lakian Kino yang seperti mengeras-membatu. Tangan Mba Rien meremas pelan kantong kenyal itu. Pelan saja, tetapi sudah cukup membuat Kino menggeramkan penyerahannya, mengerangkan kepasrahannya, ketika dengan deras cairan hangat kental lepas dari tempat persembunyiannya, menghambur keluar.Langit-langit kamar Mba Rien memudar di mata Kino. Ranjang Mba Rien terasa seperti awan yang membumbung membawa tubuhnya melayang. Jemari dan tangan Mba Rien masih meremas menggosok. Mulutnya yang basah masih mengulum-menyedot. Dunia nyata seakan berkeping-keping. Meledak mengamburkan pijar-pijar pelangi di kepala Kino. Sungguh menakjubkan!Lalu sepi bagai turun dari langit. Kino tergeletak lemas. Mba Rien tertelungkup di sebelahnya, dengan kepala tersandar ke dadanya. Nafas mereka berdua masih memburu. Samar-samar terdengar detik jam dinding. Malam minggu sedang menuju titik kulminasi.Setelah segalanya tenang, Kino bangkit dan merapikan pakaiannya. Mba Rien keluar menuju kamar mandi. Segalanya seperti sediakala, kecuali ranjang yang berantakan tak keruan. Dengan cekatan Kino membereskan seprai dan mengembalikan bantal ke tempatnya. Ia menemukan beha dan celana dalam Mba Rien, yang segera dilipatnya baik-baik dan diletakkan di kursi meja rias. Setelah menghela nafas dalam-dalam, ia melangkah keluar, ke ruang tamu. Kosong tak ada siapa-siapa. Lalu Mba Rien muncul dari kamar mandi. Wajahnya penuh senyum seperti biasanya. Lalu mereka duduk berhadap-hadapan. Lama tidak berkata-kata, cuma saling menukar senyum. Ketika akhirnya Mba Rien membuka percakapan, bahan pembicaraan terasa hambar, dan wanita yang wajahnya bersinar tetapi kelihatan letih itu pun berkali-kali menguap tak mampu mengusir kantuk.Pukul 10 lewat seperempat, Kino akhirnya berpamit. Mba Rien berdiri di pintu depan memandangnya pergi. Kino tak bisa melihat wajahnya, karena terlindung bayangan pintu, tetapi ia tahu Mba Rien tersenyum. Maka ia pun tersenyum sekali lagi, lalu berbalik menuntun sepedanya ke jalan raya. Gelap malam segera menyambutnya, merangkulnya dengan embun basah yang segar. Entah kenapa, Kino merasa seperti seorang ksatria pulang dari medan pertempuran!

No comments:

Post a Comment