Monday 23 January 2012

Cerita seru Saatnya Untuk Berpisah

Kota M terletak sekitar 100-an kilometer dari kota kelahiran Kino. Ke sanalah kini pemuda itu menuju, naik kendaraan umum bersama teman ayahnya, Paman Tingga namanya, yang bersedia menampung Kino selama ia mempersiapkan diri untuk seleksi perguruan tinggi. Pagi masih basah dan agak berembun ketika keduanya berangkat ke terminal berjalan kaki. Sambil melangkah, Kino mengenang perpisahannya tadi malam dengan Alma. Ada kesenduan di raut muka gadis manis itu, walaupun Kino berusaha menghiburnya dengan bercanda. Lagipula, apa yang dirisaukannya? Toh, mereka hanya akan berpisah dua bulan. Bagi Kino, tak apa lah berpisah dari Alma, karena ia merasa memerlukan konsentrasi penuh untuk persiapan masa depannya. Tetapi bagi Alma rupanya agak lain. Gadis itu merasa inilah awal dari sebuah perpisahan panjang yang tak terelakkan.Malam itu mereka meminta ijin untuk menonton. Kedua orangtua Alma mengijinkan, dengan perjanjian agar mereka pulang sebelum pukul 11. Tetapi, mereka membatalkan acara menonton, karena ternyata film yang tadinya mereka akan tonton telah diganti dengan sebuah film silat. Akhirnya mereka duduk saja di pinggir alun-alun dekat pantai. Ada sebuah tembok pendek pembatas alun-alun dengan jalan. Di sana lah keduanya duduk berayun-ayun kaki, menghadap ke selatan ke arah laut yang menghitam nun di sana. Awan hujan tak tampak di langit, tetapi angin terasa mulai dingin. Kino memeluk pundak kekasihnya."Apa rencana kamu setelah kursus?" tanya Alma sambi memainkan kancing bawah jaketnya."Mmmm ..., belum tahu. Mungkin langsung ikut test seleksi," jawab Kino. Ia memang membicarakan kemungkinan ini dengan ayahnya beberapa waktu yang lalu. Ayah dan ibu juga setuju jika Kino ingin ikut test langsung di lokasi perguruan tinggi yang ditujunya, di kota B. Tetapi, menurut kedua orangtuanya, keputusan ada di tangan Kino setelah ikut kursus."Berarti kamu langsung ke B...," ucap Alma sambil mengibaskan rambut yang menutupi mukanya."Ya,.. senang sekali kalau bisa ikut test di sana. Aku ingin sekali melihat kampusnya. Kata orang, kampus itu besar sekali, berkali-kali lebih besar dari alun-alun ini!" jawab Kino bersemangat. Ia merasa, ikut ujian seleksi di kampus itu akan menambah motivasi dan kemungkinan lulus."Tetapi, itu berarti kita tak akan bertemu lagi," bisik Alma.Kino menoleh. Memandang kekasihnya yang kini menunduk. Rambutnya yang legam tergerai menutup wajahnya. Dengan lembut, Kino mencoba menyibak rambut itu. Alma mengelak. Kino mencoba lagi, Alma tetap mengelak, bahkan melepaskan diri dari pelukan kekasihnya."Apa maksudmu?" tanya Kino.Alma menggeser duduknya menjauh, lalu menghadapkan tubuhnya ke Kino. Wajahnya serius, "Maksudku,... kita akan berpisah semakin lama. Lalu, kalau diterima di perguruan tinggi,... kamu dan aku akan sama-sama sibuk kuliah. Kemungkinan, kita tak akan bertemu lagi dalam waktu satu atau dua tahun. Atau mungkin lebih.""Ya,... agaknya begitu," ucap Kino pelan. Ia memang juga punya dugaan yang sama, tetapi apa yang bisa dilakukannya? Bukankah sekolah tinggi-tinggi adalah keinginan mereka berdua? Kalau mereka terpaksa berpisah karena keinginan itu, apa yang bisa mereka lakukan?"Lalu kita akan saling melupakan...," bisik Alma, matanya berkaca-kaca."Kenapa saling melupakan?" sergah Kino."Karena kita akan sama-sama sibuk kuliah...""Tetapi kita bisa saling menyurati. Kita bisa ... ""Tetap saja....," Alma memotong dengan cepat, "Kita tetap akan saling menjauh tanpa kita sengaja.""Kita masih bisa bertemu lagi, Alma. Aku pasti itu!" ucap Kino mencoba tegas, walau ia sendiri tak tahu apakah suaranya betul-betul kedengaran tegas. Ia sendiri ragu, apakah memang ada kepastian di masa depan? Bukankah masa depan selalu samar-samar?Alma menghela nafas panjang, lalu menghempaskannya dalam desah yang keras. "Yah .. pasti kita bertemu lagi, tetapi mungkin sebagai dua orang yang berbeda..." ucapnya pelan.Kino terdiam. Tiba-tiba ia sadar, betapa ia tak kuasa mengatur aliran kehidupan. Betapa kecilnya ia menghadapi dunia yang begitu luas, yang berada di luar batas kendalinya. Ia ingin sekolah dan menjadi arsitek ulung, tetapi untuk itu ia harus meninggalkan banyak sekali kenangan manis. Tidak hanya Alma, tetapi juga Susi adik satu-satunya, ayah dan ibunya, teman-temannya, sungai tempatnya berenang, pantai yang menyimpan jutaan memori, hutan kenari, kota kecil yang damai ..... banyak sekali!"Melamun apa?" teguran Paman Tingga di sampingnya membuat Kino tersentak. Tak terasa, mereka sudah sampai di terminal. Kino tersipu sambil berbohong, mengatakan bahwa ia sedang membayangkan kota M.Paman Tingga tersenyum, lalu menepuk pundaknya. "Jangan bohong. Kamu pasti sedang melamunkan pacarmu," ucapnya sambil tertawa pelan."Yah,.. yang itu juga kulamunkan, sambil membayangkan kota M," jawab Kino tak mau kalah. Paman Tingga tertawa lebih keras.Mereka naik ke kendaraan umum yang sudah menunggu. Kino duduk dekat jendela, sementara teman ayahnya turun lagi untuk membeli makanan kecil dan minuman. Kino tinggal di atas mobil, melanjutkan lamunannya.

No comments:

Post a Comment